Senin, 15 April 2013

Hadhanah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di dalam hidup banyak sekali problem-problem dan persoalan baru yang bermunculan, dengan begitu pelanggaran-pelanggaran baru juga bermunculan, sehingga banyak UU yang perlu dibenahi. Namun, tidak segampang membalikkan kedua belah tangan untuk merubah UU yang telah ditetapkan, butuh pertimbangan-pertimbangan yang melibatkan DPR RI.
Dan tidak menutup kemungkinan putusan yang belum ada dalam UU juga sangat dibutuhkan, maka muncullah putusan hakim dan dibuatlah landasan hukum yang menaungi putusan hakim ini atau juga disebut dengan yurisprudensi, yaitu pada tahun 30 April 1847 dikeluarkan Algemene Bepalingen van wetgeping voor IndonesiaIndonesia. yang disingkat A.B.yang termuat dalam Staatsblad 1847 No.23 Diartikan sebagai Ketentuan-ketentuan Umum Tentang Peraturan Perundangan
Pasal 22 A.B (Algemene Bepalingen Van Wetgeving voor Indonesie) berbunyi : “Bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
Begitu juga pada Pasal 16 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi :
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dengan kata lain, hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan. Berdasarkan ketentuan pasal-paasal ini, terlihat jelas bahwa apabila undang-undang atau kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat di pakai untukj menyelesaikan perkara, seorang hakim mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan perkara terrsebut.
Maka dari itu yurisprudensi merupakan salah satu produk hukum yang dibuat oleh seorang hakim dan disetujui atau dipakai oleh hakim-hakim berikutnya dengan disepakati oleh MA sebagai pengadilan kasasi, yang mana produk hukum ini tercipta karena ketidak adaan ketetapan hukum dalam UU atau produk hukum lainnya atau adanya hukum-hukum baru “hukum kasus”.
Di lingkungan Peradilan Agama, yurisprudensi kerap digunakan oleh hakim untuk memutus suatu perkara terutama perkara perceraian, pernikahan atau perkara-perkara perdata agama Islam yang terkait dengan perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sebagaimana yang telah ditentukan Undang-Undang baik kepada pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, atau Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.
Berangkat dari sinilah akhirnya yurisprudensi munakahah yang akan kami analisis dengan pendekatan ushuliyah, agar lebih spesifik karena ruang lingkup perdata juga sangat luas.

B.     Rumusan Masalah
Setelah melihat latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang kami ambil adalah:
1.                  Bagaimana ijtihad hukum hadhanah?
2.                  Bagaimana analisis dari yurisprudensi hadhanah?

C.    Tujuan
1.                  Mengetahui ijtihad hukum hadhanah
2.                  Mengetahui analisis dari yurisprudensi hadhanah



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ijtihad Hukum Hadhanah
Masalah pokok yang akan dibahas dalam bagian ini adalah proses terbentuknya yurisprudensi hadhanah. Namun sebelum membahas proses tersebut, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan secara ringkas dan dianggap mendukung serta memperjelas permasalahannya.
1.      Pengertian Hadhanah
Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Sedangkan hadhanah menurut istilah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.
Para ulama fiqh mendefinidikan, hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Hadhanah berbeda maksudnya dengan pendidikan tarbiyah (tarbiyah). Dalam hadhanah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani, di samping terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani terkandung pula pengertian pendidikan terhadap anak. Pendidik mungkin terdiri dari keluarga si anak dan mungkin pula bukan terdiri dari keluarga si anak dan ia merupakan pekerjaan professional, sedangkan hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak.[1]
Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah firman allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ …… -٦-
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”
2.      Yang Lebih Layak Melakukan Hadhanah
Pada dasarnya yang berkewajiban melakukan hadhanah adalah kedua orang tua si anak. Prinsip tersebut hanya akan berjalan lancar jika kedua orang tua tetap dalam hubungan suami-istri. Yang menjadi persoalan adalah apabila kedua orang tua si anak telah bercerai. Dalam kaitannya dengan masalah ini ada dua periode bagi si anak.
a.      Periode sebelum mumayyiz
Periode ini adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Kesimpulan ulama menunjukkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya melakukan hadhanah. Kesimpulan mereka di dasarkan atas:
1.      Sabda rasulullah yang berbunyi ”Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, niscaya Allah akan memisahkannya dengan yang dikasihaninya di hari kemudian”. (HR. Abu Daud).
2.      Hadis Abdullah bin Umar bin Al-Ash menceritakan, seorang wanita kepada Rasulullah tentang anak kecilnya, di mana suaminya bermaksud membawa anak mereka bersamanya. Lalu Rasulullah bersabda “Kamu (wanita itu) lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah dengan lelaki lain” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
3.      Pada kasus sengketa antara Umar bin Khattab dengan istrinya dalam hal pengasuhan anak, Khalifah Abu Bakar pun menjatuhkan putusannya sesuai dengan hadist nabi di atas.
4.      Ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dalam masa tersebut dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu lebih membutuhkan ibunya.
Berdasarkan alas an-alasan di atas, apabila terjadi perceraian, demi kepentingan anak dalam umur tersebut, maka ibu lebih berhak untuk mengasuhnya, bilamana persyaratan-persyaratannya dapat dilengkapi.


a.      Periode Mumayyiz
Masa mumayyiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang baligh berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat baginya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ia ikut ibu atau ikut ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Dasar hukumnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menceritakan seorang wanita yang mengadukan tingkah bekas suaminya yang hendak mengambil anak mereka berdua, yang telah mampu menolongmengambil air dari sumur. Lalu Rasulullah menghadirkan kedua pihak yang bersengketa dan mengadili “Hai anak, ini ibumu dan ini ayahmu. Pilihlah yang mana yang engkau sukai untuk tinggal bersamanya. Lalu anak itu memilih ibunya”. Sedangkan hal ini juga dibahas dalam KHI BAB XIV Pemeliharaan Anak pasal 105-106[2], namun dalam pasal ini batas umurnya berbada dengan pandapat para ulama. Yaitu dibawah umur 12 tahun bagi yang belum mumayyiz.
3.      Syarat-Syarat Bagi Yang Melakukan Hadhanah
Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlakukan beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah:
a.       Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah baligh berakal, tidak terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah, ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.
b.      Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik  mahdun (anak yang diasuh) dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
c.       Seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh baik kepada anak yang diasuh.
d.      Jika yang akan melakukan hadhanah adalah ibu kandung dari anak yang akan diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain . dasarnya adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki lain (HR. Abu Daud). Adanya persyaratan tersebut disebabkan kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya dari suami pertama.
e.       Seseorang yang melakukan hadhanah harus beragama  Islam. Seorang nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh. Tugas mengasuh termasuk ke dalamnya usaha mendidik anak menjadi muslim yang baik, dan hal itu menjadi kewajiban muthlak atas kedua orang tua.[3]
4.      Duduk Perkara
Ketentuan-ketentuan Fiqh yng digunakan untuk dijadikan tolak ukur dalam mengomentari keputusan PA Tebing Tinggi No.PA.b/8/PTS/144/1986, dalam perkara hadanah antara Penggugat Emti Budiono, SH. Bin Susanto Sutomo umur 40 tahun, lawan Tergugat Deme Detty Ekaryana Boru Damantik, umur 27 tahun. Duduk prkaranya adalah sebagai berikut:
Penggugat telah mengajukan gugatannya pada tanggal 24 Maret 1986 terdaftr dalam perkara Nomor 144/1986, dan selanjutnya dilengkapi dengan keterangannya di muka sidang Pengadilan Agama. Gugatan Penggugat adalah hadanah (pemeliharaan dan pengawasan) anak yang ahir dari perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat (Deme Detty Ekaryana) yang menikah secara Islam pada tanggal 12 Maret 1985. Pernikahan Penggugat dengan Tergugat telah terputus demi hukum, terhitung sejak Tergugat kembali ke agama Kristen Protestan bulan Oktober 1985. Sesuai dengan penetapan Pengadilan Agama Tebang Tebing Nomor PA.b/8/PEN 114/1986 tertanggal 24 Maret 1986. Dalam masa hubungan Perkawinan, Penggugat dengan Tergugat telah memperoleh seorang anak perempuan yang lahir pada tanggal 7 Juli 1985 dengan diberi nama Ayu Emilya Adnistri. Penggugat mengajukan alasa-alasan agar hak hadanah anak tersebut jatuh ke tanganny, sebagai berikut:
“Bahwa oleh karena Tergugat masih kuliah di Universitas Sumatra Utara Medan, tidak dapat megasuh langsung anak Penggugat sehingga tepaksa tinggal dan diasuh keluarga (orang tua Tergugat) yang masih memeluk Agama Kristen Protestan. Bahwa oleh karena anak Penggugat lahir dari seorang ayah dan ibu yang perkawinannya menurut Agama Islam, sehingga bila tinggal dan diasuh oleh keluarga yang masih memeluk Agama Kristen Protestan, Penggugat mengkhawatirkan agama dan pendidikan anank Penggugat tidak terjamin sesuai dengan fitrahnya, yakni lahir dari seorang ayah dan ibu yang beragama Islam, apalagi sebelum putusya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat, keluarga dan Tergugat sendiri pernah meminta izin kepada Penggugat agar anak Penggugat dibaptis (dimandikan) secara agama”.
Selanjutnya, pihak Tergugat di muka sidang menjelaskan penolakannya untuk menyerahkan anaknya dengan alasan antara lain, bahwa anak tersebut masih balita yang tidak mungkin diurus dengan baik oleh seorang laki-laki. Bahwa anak itu dipelihara oleh Tergugat bukan dipelihara oleh orang lain. Bahwa mengenai masalah agama, pihak Tergugat tidak memaksakan terhada anak dan hal itu terserah kepada anak itu sendiri  ketika nanti sudah dewasa, dan Tergugat sendiri tidak berkeberatan bila anak tersebut memeluk agama selain agama yang ia peluk.
Setelah melalui proses peradilan, maka Pengadilan Agama Tebing Tinggi memutuskan menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak hadanah bagi anak tersebut. Setelah naik banding, keputusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Medan, dan selanjutnya oleh Mahkamah Agung RI.[4]

B.     Analisis Yurisprudensi
Membaca duduk perkara dan alas an-alasan dari masing-masing pihak seperti tersebut di atas ada beberapa hal yang dapat dianalisa:
1.      Alasan pertama yang diungkapkan penggugat ialah, bahwa Tergugat tidak mempunyai waktu untuk mengurus anak Penggugat itu disebabkan Tergugat sedang mengikuti kuliah di Medan. Alas an ini akan menjadi tidak berarti bilamana dihadapkan pada perdebatan:
a.       Bagaimana jika Tergugat mempunyai waktu untuk mengurus anak tersebut, dengan sengaja berhenti kuliah. Bila keadaannya menjadi demikian sudah dipastikan Penggugat tidak juga akan mencabut gugatannya, karena ada kendala lain, yakni Tergugat tidak beragama Islam.
b.      Adalah benar bahwa Tergugat tidak bisa mengurusi sendiri anak tersebut. Namun, Tergugat telah mendelegasikan tugas pengasuhan kepada ibu kandungnya (ibu Tergugat). Dalam urutan keutamaan disebutkan dalam hukum Fiqh bahwa yang lebih utama melakukan hadanah setelah bu kandung ialah ibu kandung dari ibu si anak. Kecuali dalam kasus ini ada penghalang lain, yaitu seperti dalam alasan Penggugat sendiri, bahwa ibu Tergugat adalah non Muslim. Dengan demikian segala perdebatan mengenai alasan pertama ini akhirnya akan kembali pada persoalan berlainan agama.
1.      Alasan lain yang dikemukakan penggugat intinya adalah bahwa baik tergugat maupun ibu tergugat yang sedang melakukan hadhanah memeluk agama Kristen protestan. Oleh karena itu, penggugat yang beragama Islam itu mengkhawatirkan agama dan pendidikan anaknya akan menjadi tidak terjamin sesuai ajaran Islam.  Seperti telah dijelaskan sebelumnya, salah satu syarat bagi yang melakukan hadhanah terhadap anaknya yang beragama Islam. Dalam kasus ini anak yang diperkarakan adalah beragama Islam, karena dilahirkan dari pasangan yang beragama Islam dan nikah secara Islam. Melihat kenyataan demikian, maka masalahnya menjadi jelas, bahwa hak hadanah berpindah kepada pihak yang beragama Islam, yaitu Penggugat (ayahnya).
Memang perlu dicatat bahwa literature hukum fiqh menunjukkan ketidaksepakatan para ahli hukum terhadap persyaratan beragama Islam bagi yang akan melakukan hadanah. Pendapat yang disebut di atas adalah pendapat mayoritas ulama Mujtahid,diantaranya Imam Syafi’I r.a, sedangkan ulama lain, seperti Ibnu Al-Qasyim dan Mazhab Hambali, sebagian kalangan Hanafiah dan Imam Muhammad Abu Zahra, tidak mensyaratkan beragama Islam bagi yang melakukan hadanah terhadap anak yang beragama Islam selama anak itu belum mumayiz (di bawah umur 7 tahun). Menurut mereka hak hadanah seorang ibu terhadap anaknya yang dilahirkan melalui pernikahan secara Islami tidak menjadi gugur disebabkan dia (ibu) tidak beragama Islam, kecuali jika anak itu sudah mumayiz. Dalam umur sebelum mumayiz, seseorang anak masih sangat membutuhkan kasih saying ibu kandungnya, sebab ibu lebih mengerti dengan kebutuhannya. Dalam pandangan ini tidak trlihat adanya kekawatiran terpengaruhnya anak dalam umur tersebut kepada agama ibunya. Karena menurut mereka anak pada umur tersebut belum mengerti sama sekali masalah agama, kecuali jika diketahui adanya unsure kesengajaan seorang ibu untuk menyeret ke agamanya. Oleh sebab itu, Muhammad Abu Zahra dalam kitabnya Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah setelah mengemukakan pendapatnya di atas menjelaskan, bahwa hak hadanah seorang ibu yang non muslim terhadap anaknya yangbmuslim dan belum mumayiz, baru menjadi gugur bilamana diketahui adanya tingkah laku atau kesengajaan si ibu mempengaruhi atau menyeret anak itu kepada agama yang dipeluknya.
Bila diperhatikan orang yang di atas, kendatipun ada pendapat yang tidak mensyaratkan beragama Islam bagi yang melakukan hadanah, namun pendapat itu tidak dapat menggugat keputusan yang diambil Pengadilan Agama Tebing Tinggi. Karena, dalam kasus itu ternyata sudah ada usaha Tergugat untuk membawa kepada agamanya. Dalam alas an Penggugat dinyatakan bahwa sebelum putusnya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat, keluarga dari Tergugat sendiri pernah meminta izin kepada Penggugat agar anak Penggugat dibaptis (dimandikan) secara keagamaan. Tujuan Penggugat ini tdak dibantah oleh Tergugat.

 
BAB III
PENUTUP
Kasimpulan
Bahwa salah satu syarat bagi yang melakukan hadhanah adalah beragama Islam, jadi dalam contoh perkara tersebut di atas, artinya, bilamana seorang ibu tidak beragama Islam, maka gugurlah hak hadhanah terhadap anaknya yang beragama Islam. Karena dalam kasus tersebut anak yang diperkarakan adalah beragama Islam, karena dilahirkan dari pasangan yang beragama Islam dan nikah secara Islam. Melihat kenyataan demikian, maka masalahnya menjadi jelas, bahwa hak hadhanah berpindah kepada pihak yang beragama Islam, yaitu Penggugat (ayahnya).

DAFTAR PUSTAKA
Ghazali Abd Rahman, Fiqh Munakahat. Jakarta: kencana. 2003
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara. 2012
Effendi Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2004



[1] Abd Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: kencana 2003), hal 175-176
[2] Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara 2012), hal 354
[3] Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. (Jakarta: Kencana 2004), hal 170-172
[4] Ibid, hal 168-169

Tidak ada komentar:

Posting Komentar