BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di
dalam hidup banyak sekali problem-problem dan persoalan baru yang bermunculan,
dengan begitu pelanggaran-pelanggaran baru juga bermunculan, sehingga banyak UU
yang perlu dibenahi. Namun, tidak segampang membalikkan kedua belah tangan
untuk merubah UU yang telah ditetapkan, butuh pertimbangan-pertimbangan yang
melibatkan DPR RI.
Dan tidak menutup kemungkinan putusan yang belum ada dalam UU juga sangat dibutuhkan, maka muncullah putusan hakim dan dibuatlah landasan hukum yang menaungi putusan hakim ini atau juga disebut dengan yurisprudensi, yaitu pada tahun 30 April 1847 dikeluarkan Algemene Bepalingen van wetgeping voor IndonesiaIndonesia. yang disingkat A.B.yang termuat dalam Staatsblad 1847 No.23 Diartikan sebagai Ketentuan-ketentuan Umum Tentang Peraturan Perundangan
Dan tidak menutup kemungkinan putusan yang belum ada dalam UU juga sangat dibutuhkan, maka muncullah putusan hakim dan dibuatlah landasan hukum yang menaungi putusan hakim ini atau juga disebut dengan yurisprudensi, yaitu pada tahun 30 April 1847 dikeluarkan Algemene Bepalingen van wetgeping voor IndonesiaIndonesia. yang disingkat A.B.yang termuat dalam Staatsblad 1847 No.23 Diartikan sebagai Ketentuan-ketentuan Umum Tentang Peraturan Perundangan
Pasal 22 A.B (Algemene Bepalingen Van
Wetgeving voor Indonesie) berbunyi : “Bilamana seorang hakim menolak
menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan undang-undang yang
bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat
dituntut karena menolak mengadili”.
Begitu juga pada Pasal 16 UU No. 4
tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi :
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.
Dengan kata lain, hakim tidak boleh
menolak perkara yang diajukan. Berdasarkan ketentuan pasal-paasal ini, terlihat
jelas bahwa apabila undang-undang atau kebiasaan tidak memberi peraturan yang
dapat di pakai untukj menyelesaikan perkara, seorang hakim mempunyai hak untuk
membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan perkara terrsebut.
Maka
dari itu yurisprudensi merupakan salah satu produk hukum yang dibuat oleh
seorang hakim dan disetujui atau dipakai oleh hakim-hakim berikutnya dengan
disepakati oleh MA sebagai pengadilan kasasi, yang mana produk hukum ini
tercipta karena ketidak adaan ketetapan hukum dalam UU atau produk hukum
lainnya atau adanya hukum-hukum baru “hukum kasus”.
Di lingkungan Peradilan Agama, yurisprudensi
kerap digunakan oleh hakim untuk memutus suatu perkara terutama perkara
perceraian, pernikahan atau perkara-perkara perdata agama Islam yang terkait
dengan perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sebagaimana yang telah
ditentukan Undang-Undang baik kepada pengadilan tingkat pertama, tingkat
banding, atau Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.
Berangkat dari sinilah akhirnya yurisprudensi
munakahah yang
akan kami analisis dengan pendekatan ushuliyah, agar
lebih spesifik karena ruang lingkup perdata juga sangat luas.
B.
Rumusan Masalah
Setelah melihat latar
belakang di atas, maka rumusan masalah yang kami ambil adalah:
1.
Bagaimana ijtihad hukum hadhanah?
2.
Bagaimana analisis dari yurisprudensi hadhanah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui ijtihad hukum hadhanah
2.
Mengetahui analisis dari yurisprudensi hadhanah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Ijtihad Hukum Hadhanah
Masalah pokok yang akan
dibahas dalam bagian ini adalah proses terbentuknya yurisprudensi hadhanah.
Namun sebelum membahas proses tersebut, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan
secara ringkas dan dianggap mendukung serta memperjelas permasalahannya.
1.
Pengertian
Hadhanah
Hadhanah menurut bahasa
berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau
meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Sedangkan hadhanah menurut istilah ialah
tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir
sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.
Para ulama fiqh
mendefinidikan, hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih
kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum
mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu
yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu
berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Hadhanah berbeda
maksudnya dengan pendidikan tarbiyah (tarbiyah). Dalam hadhanah terkandung
pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani, di samping terkandung pengertian
pemeliharaan jasmani dan rohani terkandung pula pengertian pendidikan terhadap
anak. Pendidik mungkin terdiri dari keluarga si anak dan mungkin pula bukan
terdiri dari keluarga si anak dan ia merupakan pekerjaan professional,
sedangkan hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak.[1]
Dasar hukum hadhanah
(pemeliharaan anak) adalah firman allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ……
-٦-
“Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu…”
2. Yang Lebih Layak Melakukan Hadhanah
Pada dasarnya yang
berkewajiban melakukan hadhanah adalah kedua orang tua si anak. Prinsip
tersebut hanya akan berjalan lancar jika kedua orang tua tetap dalam hubungan
suami-istri. Yang menjadi persoalan adalah apabila kedua orang tua si anak
telah bercerai. Dalam kaitannya dengan masalah ini ada dua periode bagi si
anak.
a.
Periode
sebelum mumayyiz
Periode ini adalah dari
waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Kesimpulan ulama
menunjukkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya
melakukan hadhanah. Kesimpulan mereka di dasarkan atas:
1. Sabda
rasulullah yang berbunyi ”Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dan
anaknya, niscaya Allah akan memisahkannya dengan yang dikasihaninya di hari
kemudian”. (HR. Abu Daud).
2. Hadis
Abdullah bin Umar bin Al-Ash menceritakan, seorang wanita kepada Rasulullah
tentang anak kecilnya, di mana suaminya bermaksud membawa anak mereka
bersamanya. Lalu Rasulullah bersabda “Kamu (wanita itu) lebih berhak
terhadap anak itu selama kamu belum menikah dengan lelaki lain” (HR. Abu
Daud dan Ahmad).
3. Pada
kasus sengketa antara Umar bin Khattab dengan istrinya dalam hal pengasuhan
anak, Khalifah Abu Bakar pun menjatuhkan putusannya sesuai dengan hadist nabi
di atas.
4. Ibu
lebih mengerti dengan kebutuhan anak dalam masa tersebut dan lebih bisa
memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu lebih
membutuhkan ibunya.
Berdasarkan alas
an-alasan di atas, apabila terjadi perceraian, demi kepentingan anak dalam umur
tersebut, maka ibu lebih berhak untuk mengasuhnya, bilamana
persyaratan-persyaratannya dapat dilengkapi.
a.
Periode
Mumayyiz
Masa mumayyiz adalah
dari umur tujuh tahun sampai menjelang baligh berakal. Pada masa ini seorang
anak secara sederhana telah mampu membedakan antara yang berbahaya dan yang
bermanfaat baginya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya
sendiri apakah ia ikut ibu atau ikut ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak
pilih menentukan sikapnya. Dasar hukumnya adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menceritakan seorang wanita yang mengadukan
tingkah bekas suaminya yang hendak mengambil anak mereka berdua, yang telah
mampu menolongmengambil air dari sumur. Lalu Rasulullah menghadirkan kedua
pihak yang bersengketa dan mengadili “Hai anak, ini ibumu dan ini ayahmu.
Pilihlah yang mana yang engkau sukai untuk tinggal bersamanya. Lalu anak itu
memilih ibunya”. Sedangkan hal ini juga dibahas dalam KHI BAB XIV
Pemeliharaan Anak pasal 105-106[2],
namun dalam pasal ini batas umurnya berbada dengan pandapat para ulama. Yaitu
dibawah umur 12 tahun bagi yang belum mumayyiz.
3.
Syarat-Syarat
Bagi Yang Melakukan Hadhanah
Untuk kepentingan anak
dan pemeliharaannya diperlakukan beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah:
a.
Yang melakukan
hadhanah hendaklah sudah baligh berakal, tidak terganggu ingatannya, sebab
hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu,
seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak
melakukan tugas hadhanah, ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang melakukan
hadhanah tidak mengidap penyakit menular.
b.
Mempunyai kemampuan
dan kemauan untuk memelihara dan mendidik
mahdun (anak yang diasuh) dan tidak terikat dengan suatu
pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
c.
Seorang yang
melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan
itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak
dapat memberikan contoh baik kepada anak yang diasuh.
d.
Jika yang akan
melakukan hadhanah adalah ibu kandung dari anak yang akan diasuh, disyaratkan
tidak kawin dengan lelaki lain . dasarnya adalah penjelasan Rasulullah bahwa
seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah
dengan lelaki lain (HR. Abu Daud). Adanya persyaratan tersebut disebabkan
kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya
dari suami pertama.
e.
Seseorang yang
melakukan hadhanah harus beragama Islam.
Seorang nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh. Tugas
mengasuh termasuk ke dalamnya usaha mendidik anak menjadi muslim yang baik, dan
hal itu menjadi kewajiban muthlak atas kedua orang tua.[3]
4. Duduk Perkara
Ketentuan-ketentuan
Fiqh yng digunakan untuk dijadikan tolak ukur dalam mengomentari keputusan PA
Tebing Tinggi No.PA.b/8/PTS/144/1986, dalam perkara hadanah antara Penggugat
Emti Budiono, SH. Bin Susanto Sutomo umur 40 tahun, lawan Tergugat Deme Detty
Ekaryana Boru Damantik, umur 27 tahun. Duduk prkaranya adalah sebagai berikut:
Penggugat telah
mengajukan gugatannya pada tanggal 24 Maret 1986 terdaftr dalam perkara Nomor 144/1986,
dan selanjutnya dilengkapi dengan keterangannya di muka sidang Pengadilan
Agama. Gugatan Penggugat adalah hadanah (pemeliharaan dan pengawasan) anak yang
ahir dari perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat (Deme Detty Ekaryana)
yang menikah secara Islam pada tanggal 12 Maret 1985. Pernikahan Penggugat
dengan Tergugat telah terputus demi hukum, terhitung sejak Tergugat kembali ke
agama Kristen Protestan bulan Oktober 1985. Sesuai dengan penetapan Pengadilan
Agama Tebang Tebing Nomor PA.b/8/PEN 114/1986 tertanggal 24 Maret 1986. Dalam
masa hubungan Perkawinan, Penggugat dengan Tergugat telah memperoleh seorang
anak perempuan yang lahir pada tanggal 7 Juli 1985 dengan diberi nama Ayu
Emilya Adnistri. Penggugat mengajukan alasa-alasan agar hak hadanah anak
tersebut jatuh ke tanganny, sebagai berikut:
“Bahwa oleh karena
Tergugat masih kuliah di Universitas Sumatra Utara Medan, tidak dapat megasuh
langsung anak Penggugat sehingga tepaksa tinggal dan diasuh keluarga (orang tua
Tergugat) yang masih memeluk Agama Kristen Protestan. Bahwa oleh karena anak
Penggugat lahir dari seorang ayah dan ibu yang perkawinannya menurut Agama
Islam, sehingga bila tinggal dan diasuh oleh keluarga yang masih memeluk Agama
Kristen Protestan, Penggugat mengkhawatirkan agama dan pendidikan anank
Penggugat tidak terjamin sesuai dengan fitrahnya, yakni lahir dari seorang ayah
dan ibu yang beragama Islam, apalagi sebelum putusya perkawinan antara
Penggugat dan Tergugat, keluarga dan Tergugat sendiri pernah meminta izin
kepada Penggugat agar anak Penggugat dibaptis (dimandikan) secara agama”.
Selanjutnya, pihak
Tergugat di muka sidang menjelaskan penolakannya untuk menyerahkan anaknya
dengan alasan antara lain, bahwa anak tersebut masih balita yang tidak mungkin
diurus dengan baik oleh seorang laki-laki. Bahwa anak itu dipelihara oleh
Tergugat bukan dipelihara oleh orang lain. Bahwa mengenai masalah agama, pihak
Tergugat tidak memaksakan terhada anak dan hal itu terserah kepada anak itu
sendiri ketika nanti sudah dewasa, dan
Tergugat sendiri tidak berkeberatan bila anak tersebut memeluk agama selain
agama yang ia peluk.
Setelah melalui proses
peradilan, maka Pengadilan Agama Tebing Tinggi memutuskan menetapkan Penggugat
sebagai pemegang hak hadanah bagi anak tersebut. Setelah naik banding,
keputusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Medan, dan
selanjutnya oleh Mahkamah Agung RI.[4]
B.
Analisis
Yurisprudensi
Membaca duduk perkara
dan alas an-alasan dari masing-masing pihak seperti tersebut di atas ada
beberapa hal yang dapat dianalisa:
1.
Alasan pertama
yang diungkapkan penggugat ialah, bahwa Tergugat tidak mempunyai waktu untuk
mengurus anak Penggugat itu disebabkan Tergugat sedang mengikuti kuliah di
Medan. Alas an ini akan menjadi tidak berarti bilamana dihadapkan pada perdebatan:
a. Bagaimana
jika Tergugat mempunyai waktu untuk mengurus anak tersebut, dengan sengaja
berhenti kuliah. Bila keadaannya menjadi demikian sudah dipastikan Penggugat
tidak juga akan mencabut gugatannya, karena ada kendala lain, yakni Tergugat
tidak beragama Islam.
b. Adalah
benar bahwa Tergugat tidak bisa mengurusi sendiri anak tersebut. Namun,
Tergugat telah mendelegasikan tugas pengasuhan kepada ibu kandungnya (ibu
Tergugat). Dalam urutan keutamaan disebutkan dalam hukum Fiqh bahwa yang lebih
utama melakukan hadanah setelah bu kandung ialah ibu kandung dari ibu si anak.
Kecuali dalam kasus ini ada penghalang lain, yaitu seperti dalam alasan
Penggugat sendiri, bahwa ibu Tergugat adalah non Muslim. Dengan demikian segala
perdebatan mengenai alasan pertama ini akhirnya akan kembali pada persoalan
berlainan agama.
1. Alasan
lain yang dikemukakan penggugat intinya adalah bahwa baik tergugat maupun ibu
tergugat yang sedang melakukan hadhanah memeluk agama Kristen protestan. Oleh
karena itu, penggugat yang beragama Islam itu mengkhawatirkan agama dan
pendidikan anaknya akan menjadi tidak terjamin sesuai ajaran Islam. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, salah
satu syarat bagi yang melakukan hadhanah terhadap anaknya yang beragama Islam.
Dalam kasus ini anak yang diperkarakan adalah beragama Islam, karena dilahirkan
dari pasangan yang beragama Islam dan nikah secara Islam. Melihat kenyataan
demikian, maka masalahnya menjadi jelas, bahwa hak hadanah berpindah kepada
pihak yang beragama Islam, yaitu Penggugat (ayahnya).
Memang perlu dicatat
bahwa literature hukum fiqh menunjukkan ketidaksepakatan para ahli hukum
terhadap persyaratan beragama Islam bagi yang akan melakukan hadanah. Pendapat
yang disebut di atas adalah pendapat mayoritas ulama Mujtahid,diantaranya Imam
Syafi’I r.a, sedangkan ulama lain, seperti Ibnu Al-Qasyim dan Mazhab Hambali,
sebagian kalangan Hanafiah dan Imam Muhammad Abu Zahra, tidak mensyaratkan
beragama Islam bagi yang melakukan hadanah terhadap anak yang beragama Islam
selama anak itu belum mumayiz (di bawah umur 7 tahun). Menurut mereka hak
hadanah seorang ibu terhadap anaknya yang dilahirkan melalui pernikahan secara
Islami tidak menjadi gugur disebabkan dia (ibu) tidak beragama Islam, kecuali
jika anak itu sudah mumayiz. Dalam umur sebelum mumayiz, seseorang anak masih
sangat membutuhkan kasih saying ibu kandungnya, sebab ibu lebih mengerti dengan
kebutuhannya. Dalam pandangan ini tidak trlihat adanya kekawatiran
terpengaruhnya anak dalam umur tersebut kepada agama ibunya. Karena menurut mereka
anak pada umur tersebut belum mengerti sama sekali masalah agama, kecuali jika
diketahui adanya unsure kesengajaan seorang ibu untuk menyeret ke agamanya.
Oleh sebab itu, Muhammad Abu Zahra dalam kitabnya Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah
setelah mengemukakan pendapatnya di atas menjelaskan, bahwa hak hadanah seorang
ibu yang non muslim terhadap anaknya yangbmuslim dan belum mumayiz, baru
menjadi gugur bilamana diketahui adanya tingkah laku atau kesengajaan si ibu
mempengaruhi atau menyeret anak itu kepada agama yang dipeluknya.
Bila diperhatikan orang
yang di atas, kendatipun ada pendapat yang tidak mensyaratkan beragama Islam
bagi yang melakukan hadanah, namun pendapat itu tidak dapat menggugat keputusan
yang diambil Pengadilan Agama Tebing Tinggi. Karena, dalam kasus itu ternyata
sudah ada usaha Tergugat untuk membawa kepada agamanya. Dalam alas an Penggugat
dinyatakan bahwa sebelum putusnya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat,
keluarga dari Tergugat sendiri pernah meminta izin kepada Penggugat agar anak Penggugat
dibaptis (dimandikan) secara keagamaan. Tujuan Penggugat ini tdak dibantah oleh
Tergugat.
BAB
III
PENUTUP
Kasimpulan
Bahwa salah satu syarat bagi yang melakukan hadhanah
adalah beragama Islam, jadi dalam contoh perkara tersebut di atas, artinya,
bilamana seorang ibu tidak beragama Islam, maka gugurlah hak hadhanah terhadap
anaknya yang beragama Islam. Karena dalam kasus tersebut anak yang diperkarakan
adalah beragama Islam, karena dilahirkan dari pasangan yang beragama Islam dan
nikah secara Islam. Melihat kenyataan demikian, maka masalahnya menjadi jelas,
bahwa hak hadhanah berpindah kepada pihak yang beragama Islam, yaitu Penggugat
(ayahnya).
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali Abd Rahman, Fiqh
Munakahat. Jakarta: kencana. 2003
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara. 2012
Effendi Satria, Problematika
Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2004
[1]
Abd Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: kencana 2003), hal 175-176
[2] Undang-Undang
RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung:
Citra Umbara 2012), hal 354
[3]
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. (Jakarta:
Kencana 2004), hal 170-172
[4] Ibid,
hal 168-169
Tidak ada komentar:
Posting Komentar