BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era globalisasi yang serba
canggih ini, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia mengalami
perubahan yang sangat dahsyat yaitu semakin meningkat, atraktif, dinamis,
sangat prospektif dan penuh dengan persaingan serta tidak mengenal batas-batas
wilayah dan negara.
Relasi bisnis antara daerah yang satu ke daerah yang lain mempunyai aksebilitas yang mudah terjangkau bahkan antar negara sekalipun. Karena itu persaingan bisnis di era global ini diperlukan paying hukum untuk menaungi dan melindungi semua kalangan komunitas masyarakat baik masyarakat yang terjun langsung di dunia bisnis maupun masyarakat pada umumnya. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan rasa keadilan sosial dan adanya kepastian hukum di dalam kehidupan masyarakat luas, bukan semata-mata mencari keuntungan materi belaka ( profit oriented ) tetapi ada pertanggungjawaban terhadap dampak yang ditimbulkan dari operasional bisnis secara menyeluruh tersebut.
Relasi bisnis antara daerah yang satu ke daerah yang lain mempunyai aksebilitas yang mudah terjangkau bahkan antar negara sekalipun. Karena itu persaingan bisnis di era global ini diperlukan paying hukum untuk menaungi dan melindungi semua kalangan komunitas masyarakat baik masyarakat yang terjun langsung di dunia bisnis maupun masyarakat pada umumnya. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan rasa keadilan sosial dan adanya kepastian hukum di dalam kehidupan masyarakat luas, bukan semata-mata mencari keuntungan materi belaka ( profit oriented ) tetapi ada pertanggungjawaban terhadap dampak yang ditimbulkan dari operasional bisnis secara menyeluruh tersebut.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang
tidak diinginkan, para bisnisman dan orang-orang yang ingin terjun langsung di
dunia bisnis hendaknya terlebih dahulu mengetahui dan memahami hukum bisnis
secara detail agar bisnis yang ditekuni berjalan dengan baik dan memberikan
manfaat bagi dirinya dan menyejahterakan masyarakat pada umumnya.[1]
Bisnis waralaba adalah tren bisnis masa depan dengan
resiko kegagalan yang kecil
dimana pertumbuhannya sangat pesat dan memberi warna tersendiri dalam perekonomian Indonesia.
Waralaba adalah suatu pengaturan bisnis dimana
sebuah perusahaan ( franchisor ) memberi hak pada pihak independen ( franchisee
) untuk menjual produk atau jasa perusahaan tersebut dengan peraturan yang
ditetapkan oleh franchisor. Franchisee menggunakan nama, goodwill, produk dan
jasa, prosedur pemasaran, keahlian, sistem prosedur operasional, dan fasilitas
penunjang dari perusahaan franchisor. Sebagai imbalannya franchisee membayar
initial fee dan royalti ( biaya pelayanan manajemen ) pada perusahaan
franchisor seperti yang diatur dalam perjanjian waralaba.[2]
Saat ini sektor bisnis waralaba sudah sangat beragam
artinya tidak hanya didominasi oleh sektor makanan saja tetapi mulai dari
sektor usaha pendidikan, salon, retail, laundry, kebugaran, pencucian mobil,
aksesoris kendaraan sudah banyak yang diwaralabakan.[3]
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari waralaba atau Franchise ?
2. Bagaiman
konsep dasar waralaba dalam Indonesia dan Negara lain?
3. Apa
saja macam-macam dari waralaba?
4. Bagaimana
system bisnis waralaba dalam Islam?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui bagaimana waralaba yang beredar dalam masyarakat khususnya para
bisnismen.
2. Untuk
mengetahui hukum waralaba dalam Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Waralaba
Secara
sederhana waralaba adalah hak istimewa (privilege)yang
terjalin dan atau diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban atau pembayaran. Dalam kaca
mata bisnis waralaba adalah pengaturan bisnis dengan system pemberian hak
pemakaian nama dagang oleh franchisor kepada
pihak independen atau franchisee untuk
menjual produk atau jasa yang sesuai denagn kesepakatan.[4]
Menurut Peraturan pemerintah RI No 16 tahun 1997 tanggal 18
Juni 1997 tentang Waralaba dikatakan bahwa, Waralaba adalah perikatan dimana
salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas
kekayaan inteletual atau penemuan atau cirri khas usaha yang dimiliki pihak
lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan
atau jasa (Pasal 1 angka 1).
Waralaba
menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia No. 259/MPR/Kep/7/1997 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Pendaftaran Usaha Waralaba, yaitu waralaba adalah perikatan dimana salah satu
pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain
dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam rangka
menyediakan dan atau penjualan barang dan jasa.
Waralaba
menurut PP RI No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba, (Revisi atas PP No. 16 Tahun
1997 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 259/MPR/Kep/7/1997
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba), wara
laba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan usaha
terhadap sistem dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau
jasa yang telah terbukti hasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak
lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Franchise
tidak dikenal dalam kepustakaan hokum Indonesia, karena lembaga franchise sejak awal tidak terdapat
dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Karena pengaruh
Globalisasi yang melanda diberbagai bidang, maka franchise masuk kedalam
tatanan budaya dan tatanan masyarakat Indonesia. Yang kemudian istilah ini
sangat akrab dikalangan masyarakat bisnis Indonesiadan menarik perhatian banyak
pihak untuk mendalaminya. Yang kemudia istilah ini di-Indonesia-kan dengan
istilah “Waralaba” yang pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan
Pengembangan Manajemen (LPPM). Waralaba berasal dari kata “wara” (lebih atau
istimewa) dan “laba” (untung). Sehingga waralaba berarti usaha yang memberikan
laba lebih atau istimewa.
Amerika melalui International Franchise
Association (IFA) mendefinisikan
franchise sebagai hubungan kontraktual antara franchisor dengan franchise,
dimana franchisor berkewajiban menjaga kepentingan secara kontinyu pada bidang
usaha yang dijalankan oleh franchisee misalnya lewat pelatihan, di bawah merek
dagang yang sama, format dan standar operasional atau kontrol pemilik
(franchisor), dimana franchisee menamankan investasi pada usaha tersebut dari
sumber dananya sendiri.
Sedangkan menurut British Franchise Association sebagai garansi lisensi kontraktual
oleh satu orang (franchisor) ke pihak lain (franchisee) dengan mengijinkan atau
meminta franchisee menjalankan usaha dalam periode tertentu pada bisnis yang
menggunakan merek yang dimiliki oleh franchisor.[5]
Sementara itu
Munir Fuady menyatakan bahwa Franchise atau sering disebut juga dengan istilah
waralaba adalah suatu cara melakukan kerjasama di bidang bisnis antara 2 ( dua
) atau lebih perusahaan, di mana 1 ( satu ) pihak akan bertindak sebagai franchisor
dan pihak yang lain sebagai franchisee, di mana di dalamnya diatur bahwa pihak
- pihak franchisor sebagai pemilik suatu merek dari know - how terkenal, memberikan
hak kepada franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis dari / atas suatu produk
barang atau jasa, berdasar dan sesuai rencana komersil yang telah dipersiapkan,
diuji keberhasilannya dan diperbaharui dari waktu ke waktu, baik atas dasar
hubungan yang eksklusif ataupun noneksklusif, dan sebaliknya suatu imbalan tertentu
akan dibayarkan kepada franchisor sehubungan dengan hal tersebut.[6]
Dapat ditarik
kesimpulan bahwa konsep waralaba tidak jauh berbeda dengan pembukaan kantor
cabang. Hanya saja, dalam kantor cabang pembukaan kantor didanai dengan
sendiri, sedangkan pada waralaba penyelenggaraaan perluasan usaha didanai dan
dikerjakan oleh pihak lain yang dinamakan dengan franchisee atas resiko dan
tanggung jawabnya sendiri, dalam bentuk usaha sendiri, tetapi sesuai dengan
arahan dan instruksi serta petuntuk franchisor.
Waralaba juga tidak beda jauh dari
bentuk distribusi dalam kegiatan perdagan barang dan jasa, hanya saja
distribusor yang menyelenggarakan seddiri kegiatan penjualannya, sedangkan
dalam waralaba franchisee melakukan segala sesuatunya oleh franchisor.
Menurut Munir
Fuady, bahwa franchise mempunyai karakteristik yuridis / dasar sebagai berikut
:[7]
1)
Unsur Dasar
Ada 3 (tiga)
unsur dasar yang harus selalu dipunyai, yaitu :
a.
pihak yang
mempunyai bisnis franchise disebut sebagai franchisor.
b.
pihak yang
mejalankan bisnis franchise yang disebut sebagai franchisee.
c.
adanya bisnis
franchise itu sendiri.
2)
Produk Bisnisnya
Unik
3)
Konsep Bisnis
Total
Penekanan pada bidang pemasaran dengan
konsep P4 yakni Product, Price, Place serta Promotion
4)
Franchise
Memakai / Menjual Produk
5)
Franchisor
Menerima Fee dan Royalty
6)
Adanya pelatihan
manajemen dan skill khusus
7)
Pendaftaran
Merek Dagang, Paten atau Hak Cipta
8)
Bantuan Pendanaan
dari Pihak Franchisor
9)
Pembelian Produk
Langsung dari Franchisor
10) Bantuan
Promosi dan Periklanan dari Franchisor
11) Pelayanan
pemilihan Lokasi oleh Franchisor
12) Daerah
Pemasaran yang Ekslusif
13) Pengendalian
/ Penyeragaman Mutu
B. Konsep Dasar Waralaba
Konsep
waralaba muncul sejak 200 tahun sebelum masehi. Saat itu seorang pengusaha
China memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk
makanan dengan merek tertentu.[8]
Kemudian di Prancis pada tahun 1200-an, penguasa Negara dan penguasa gereja mendelegasikan
kekuasaan mereka kepada para pedagang dan ahli pertukangan melalui apa yag
dinamakan “diartes de franchise”,
yaitu hak untuk menggunakan atau mengolah hutan yang berada dibawah kekuasaan
Negara atau gereja, sebagai imbalannya pengusaha dari keduanya adalah menuntut
jasa tertentu atau uang. Namun waralab yang lebih dikenal dikalangan masyarakat
Indonesia adalah dari Amerika Serikat.
Sejarah franchise dimulai di Amerika Serikat oleh perusahaan mesin
jahit singer sekitar tahun 1850 – an. Pada saat itu, Singer membangun jaringan
distribusi hampir di
seluruh daratan Amerika untuk menjual produknya. Di samping menjual
mesin jahit, para distributor tersebut juga memberikan pelayanan
purna jual dan suku cadang.
Jadi para distributor tidak semata menjual mesin jahit, akan tetapi juga
memberikan layanan perbaikan dan perawatan kepada konsumen.[9]
Walaupun tidak terlampau
berhasil, Singer telah menebarkan benih untuk franchising di masa yang
akan datang dan dapat diterima secara universal.
Pola ini kemudian diikuti oleh industri oleh industri mobil,
industri minyak dengan
pompa bensinnya serta industri minuman ringan. Mereka ini adalah para
produsen yang tidak mempunyai jalur distribusi untuk produk-produk
mereka,
sehingga memanfaatkan sistem franchise ini di akhir-akhir abad ke
18 dan diawal abad ke 19.
Sesudah perang dunia ke 2, usaha eceran mengadakan perubahan dari
orientasi produk ke orientasi pelayanan. Disebabkan kelas menengah
mulai sangat mobile dan
mengadakan relokasi dalam jumlah besar ke daerah-daerah pinggiran
kota, maka banyak rumah makan / restoran atau drive in
mengkhususkan dalam makanan siap
saji dan makanan yang bisa segera di makan di perjalanan.[10]
Pada awalnya istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan
Hukum
Indonesia, hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise
ini sejak awal tidak terdapat
dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Namun karena
pengaruh globalisasi yang melanda di berbagai bidang, maka
franchise ini kemudian. masuk
ke dalam tatanan budaya dan tatanan hukum masyarakat
Indonesia.[11]
Waralaba mulai ramai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1970-an
dengan
mulai masuknya franchise luar negeri seperti Kentucky Fried
Chicken, Swensen, Shakey
Pisa dan kemudian diikuti pula oleh Burger
King dan Seven Eleven, Walaupun sistem franchise ini sebetulnya sudah ada di Indonesia
seperti yang diterapkan oleh
Bata dan yang hampir menyerupainya ialah SPBU ( pompa bensin).[12]
Pada awal tahun 1990 – an International Labour Organization ( ILO )
pernah
menyarankan Pemerintah Indonesia untuk menjalankan sistem franchise
guna
memperluas lapangan kerja sekaligus merekrut tenaga – tenaga ahli
franchise untuk melakukan
survei, wawancara, sebelum memberikan rekomendasi. Hasil kerja para
ahli franchise tersebut menghasilkan “Franchise Resource Center”
dimana tujuan lembaga
tersebut adalah mengubah berbagai macam usaha menjadi franchise serta
mensosialisasikan sistem franchise ke masyarakat Indonesia.
Istilah franchise ini selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan
masyarakat, khususnya masyarakat bisnis Indonesia dan menarik
perhatian banyak pihak
untuk mendalaminya kemudian istilah franchise dicoba di Indonesiakan dengan
istilah ‘waralaba’ yang diperkenalkan pertama kali oleh Lembaga
Pendidikan dan Pengembangan
Manajemen ( LPPM ) sebagai padanan istilah franchise. Waralaba
berasal dari kata wara ( lebih atau istimewa ) dan laba ( untung ),
maka waralaba berarti usaha
yang memberikan laba lebih / istimewa.[13]
Pertumbuhan bisnis waralaba yang tumbuh subur di Indonesia, pada
prinsipnya tidak lepas dari peran serta dari merek-merek waralaba
lokal.
Perkembangan waralaba lokal yang semakin pesat, bisa dilihat dari
masih sangat terbukanya
peluang usaha ini untuk mewaralabakan perusahaan – perusahaan
tradisional yang telah mempunyai merek dagang dan sistem yang
stabil
Merek-merek lokal ini diarahkan pemerintah untuk bernaung di bawah
AFI
(Asosiasi Franchise Indonesia) yang merupakan asosiasi resmi yang
diakui oleh pemerintah
dalam bidang waralaba. Asosiasi ini merupakan anggota dari IFA
(International Franchise Association) yang adalah organisasi
franchise skala internasional.
AFI didirikan pada tanggal 22 November 1991 dengan bantuan dari
ILO (International Labour Organization) dan Pemerintah Indonesia.19
Asosiasi ini salah satunya bertujuan
untuk mengembangkan franchise dalam rangka penciptaan
distribusi nasional, kesempatan kerja, dan pengembangan usaha kecil
menengah
( UKM ).
C. Pihak-Pihak Yang Terlibat
Dalam Waralaba Serta Hak Dan Kewajibannya
Pada
umumnya komponen yang membentuk perjanjian waralaba adalah:
1. Franchisor
Franchisor
(pemberi waralaba) merupakan pihak yang memiliki sistem atau cara-cara tertentu
dalam berbisnis. Pemberi waralaba (franchisor) adalah badan usaha atau
peroranagan yang kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang
dimilikinya.
2. Franchisee
Franchisee
(penerima
waralaba) yaitu pihak yang menerima waralaba atau sistem usaha dari franchisor
sehingga memiliki hak untuk menjalankan bisnis dengan cara-cara yang
dikembangkan oleh franchisor.
3. Franchise
Franchise
yaitu
sistem dan cara-cara bisnis itu sendiri, ini merupakan pengetahuan atau
spesifikasi usaha dari franchisor yang dijual kepada franchisee.
Dalam suatu perjanjian waralaba, franchise berkedudukan sebagai objek
perjanjian.
Dari
komponen tersebut, ruang lingkup hak dan kewajiban dari para pihak yang
bertindak sebagai subjek hukum dalam perjanjian waralaba dapat ditentukan
sebagai berikut.
1. Kewajiban
franchisor yang menjadi hak franchisee adalah sebagai berikut:
a. Brand
name yang meliputi logo, peralatan dan lain-lain.
b. System
dan cara manual operasional bisnis
c. Dukungan
dalam beroperasi, karena bagaimanapun franchisor lebih mempunyai
pengalaman luas.
d. Pengawasan
(monitoring) yang bertujuan untuk memastikan bahwa sistem yang disediakan
dijalankan dengan baik dan benar secara konsisten.
e. Penggabungan
promosi/joint promotion, karena hal ini berkaitan dengan brand name.
f. Pemasokan
yang berlaku bagi franchisee tertentu, misalnya bagi franchisor yang
merupakan supplier bahan makanan/minuman. Kadang franchisor juga
memasok mesin-mesin atau peralatan tertentu yang diperlukan.
2. Kewajiban
franchisee yang merupakan hak franchisor dapat dibedakan menjadi
dua macam:
a. Kompensasi
langsung dalam bentuk moneter (direct monetary compensation) dalam
diwujudkan dalam dua bentuk
1) Lumpsum payment, yaitu suatu
jumlah uang yang telah dihitung terlebih dahuludan wajib dibayarkan oleh
penerima waralaba (franchisee) pada saat persetujuan pemberian waralaba
disepakati. Pembayaran ini dapat dilakukan secara tunai maupun beberapa kali angsuran.
2) Royalty, yaitu jumlah pembayaran
yang dikaitkan dengan suatu persentasi tertentu yang dihitung dari jumlah
produksi dan penjualan barang atau jasa yang diproduksi atau dijual berdasarkan
perjanjian, baik disertai dengan ikatan suatu jumlah minimum atau maksimum
jumlah royalty tertentu atau tidak.
b. Kompensasi
tidak langsung dalam bentuk nilai moneter (indirect and nonmonetary
compensation). Kompensasi ini biasanya meliputi:
1) Keuntungan
sebagai akibat dari perjualan barang modal atau bahan mentah yang merupakan
satu paket dengan pemberian waralaba. Biasanya perjanjian ini dibuat dalam
bentuk exculisive purvhase arrangement.
2) Pembayaran
kompensasi juga dapat diwujudkan dalam pembagian deviden sebagai hasil
ekuitas atau diwujudkan dalam bentuk pinjaman jangka pendek maupun jangka
panjang.
3) Penghasilan
atas sebagian biaya yang harus dikeluarkan oleh pemberi waralaba kepada
penerima waralaba dalam rangka menceah terjadinya pelanggaran atau sebagai
upaya perlindungan hak atas kekayaan intelektual.[14]
D. Macam-macam waralaba
Pada umumnya, waralaba dibedakan menjadi tiga jenis, diantaranya
adalah:
1. Distributorships
(Product Franchise)
Dalam hal ini francishor memberika lisensi kepada franchisee
untuk menjual barang-barang hasil produksinya. Pemberian lisensi ini bisa
bersifat eksklusif ataupun noneksklusif. Seringkali terjadi franchisee
diberi hak eksklusif ataupun memasarkan disuatu wilayah tertentu.
2. Chain-Style Business
Jenis waralaba inilah yang paling di kenal dalam masyarakat, dalam
jenis ini franchisee mengoperasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai
nama francishor. Sebagai imbalan dari penggunaan nama francishor, maka
franchisor harus mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan berada
dibawah pengawasan francishor dalam hal bahan-bahan yang digunakan,
pilihan tempat usaha, desain tempat
usaha, jam penjualan, persyaratan para karyawan dll.
3. Manufacturing atau
Processing Plants
Dalam jenis ini francishor memberitahukan
bahan-bahan serta tata cara pembuatan suatu produk, termasuk didalamnya
formula-formula rahasianya. Franchisee memproduksi, kemudian memasarkan
barang-barang itu sesuai standar yang telah ditetapkan francishor.
Di Indonesia setidaknya system waralaba dibagi menjadi empat,
diantaranya:
a. Waralaba dengan system format bisnis
b. Waralaba bagi keuntungan
c. Waralaba kerja sama investigasi
d. Waralaba produk dan merek dagang
Pada sast ini yang berkembang di Indonesia adalah terkait dengan poin
a dan d. Dan ini merupakan pembagian dari
segi bentuknya, waralaba dapat dibedakan menjadi dua macam yakni:
1. Waralaba merek dan
produk dagang (product and trade franchise). Dalam waralaba merek dagang dan produk, franchisor untuk
menjual produk yang dikembangkan disertai dengan izin untuk menggunakan merek
dagangnya. Atas pemberian izin penggunaan merek dagang itu, seorang franchisor
mendapatkan suatu bentuk bayaran royalty dimuka, dan selanjutnya dia juga
mendapat keuntungan dari penjualan produknya.
2. Waralaba format
bisnis (bussines format franchise). Perjanjian waralaba format bisnis merupakan pemberian sebuah lisensi
oleh seseorang kepada pihak lain, lisensi tersebut memberikan hak kepada
penerima waralaba untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang atau nama
dagang pemberi waralaba dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri
dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang yang semula belum
terlatih menjadi terampil dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan
yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.
Perjanjian waralaba format bisnis ini terdiri dari:
a. Konsep bisnis yang menyeluruh dari pemberi
waralaba
b. Adanya proses permulaan dan pelatihan atas
seluruh aspek pengelolaan bisnis, sesuai dengan konsep pemberi waralaba.
c. Proses bantuan dan bimbingan dilakukan secara
berkelanjutan dari pihak pemberi waralaba.
E. Waralaba menurut
hukum Islam
Dengan
memperhatikan format perjanjian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa waralaba merupakan hasil dari pengembangan bentuk transaksi dalam bisnis.
Dikatakan demikian, karena melalui perjanjian tersebut, pihak yang memberikan
waralaba akan menjalin hubungan dengan penerima waralaba sebagai pihak yang
akan mengembangkan/menjalankan usaha sejenis sesuai kesepakatan.
Kehadiran
para pihak dalam kontrak perjanjian merupakan suatu hal yang lazim, baik dalam
bentuk perseorangan maupun badan hukum. Namun yang khas pada perjanjian
waralaba adalah objek transaksinya. Yang menjadi objek transaksi dalam
perjanjian waralaba adalah berupa Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), yang
keberadaannya biasanya diwujudkan dalam bentuk merek dan produk dagang dan
format bisnis.
Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, memungkin manusia untuk
meningkatkan produksi barang atau jasa sesuai kebutuhannya. Namun penggunaan
barang atau jasa sebagai objek perjanjian, tentu tidak harus mengesampingkan
keberadaan akad-akad syariah yang telah ditetapkan. Karena itu, menjadikan HAKI
sebagai objek perjanjian waralaba, hukumnya adalah boleh (mubah). Dalam fiqh
muamalah, ukuran kebolehan menjadikan sesuatu sebagai objek perjanjian adalah
selama tidak mengandung unsure keharaman, baik ditinjau dari segi zatnya (haram
li dzatihi) maupun haram selain zatnya (haram li ghairihi), serta
selama tidak bertentangan ketentuan akad-akad syariah itu sendiri.
Pada
umumnya objek perjanjian waralaba yang berupa merek dan produk dagang adalah
masuk dalam kategori barang (‘ain). Sedangkan penyampaian ilmu pengetahuan
tentang format bisnis masuk dalam kategori jasa perbuatan (fi’il). Meskipun
dalam praktek perjanjian waralaba objek tersebut tidak dapat dipisahkan satu
sama lainnya, namun keberadaannya tetap tidak menggugurkan kewajiban berlakunya
akad-akad yang digunakan.
Dalam
perjanjian waralaba, hak kepemilikan objek perjanjian berada pada pihak pemberi
waralaba. Karena itu, konsekuensi pemanfaatan objek tersebut oleh penerima
waralaba akan dikenakan kompensasi berupa pembayaran sejumlah uang. Apabila
kewajiban membayar disyaratkan sebagai bentuk imbalan, berarti ketentuan akad
yang berlaku ijarah. Dalam ijarah, imbalan boleh dibayarkan secara tunai
(naqdan) maupun tangguh (muajal). Untuk menentukan jumlah imbalan selain dapat
dilakukan melalui perkiraan, juga dapat dihitungdari hasil penjualan produk
(royalty).
Menurut
analisa fiqh, landasan utama yang menjadi dasar perjanjian waralaba adalah akad
ijarah. Dengan demikian, apabila ada keuntungan lain bagi pemberi waralaba
melalui hasil hasil penjualan objek tertentu, berarti merupakan perjanjian jual
beli yang berada diluar konteks ijarah iru sendiri. Begitu pula dengan
pembagian deviden hasil penanaman modal (equity sharing) pihak pemberi
waralaba kepada penerimna waralaba, juga merupakan perjanjian tersendiri yang
menggunakan akad mudharabah. Berlakunya masing-masing akad mungkin saja terjadi
dalam perjanjian waralaba, namun dengan ketentuan selama tidak menggugurkan
rukun dan syarat masing-masing akad itu sendiri. Misalnya, melalui akad ijarah
pemnberi waralaba akan mendapatkan imbalan berupa uang. Sedangkan dari hasil
penyertaan modal melalui akad mudharabah, pemberi waralaba berhak mendapatkan
nisbah bagi hasil atau menanggung resiko finansial terhadap modal yang
disertakan[15].
Dalam
Fiqh Islam ada dua hal yang menjadi penilaian pada konsep Waralaba
/ Franchise yaitu;
1. Pembelian Hak Kekayaan Intelektual
(HAKI) berupa merek dagang, penemuan dan ciri khas produk atau menejemen usaha
sebagai hak paten yang dimiliki Franchisor, sedangkan HAKI merupakan benda
maknawi yang memiliki nilai jual. Ulama menjelaskan beberapa hal yang berkenaan
tentang hak maknawi ini, seperti pada karya ilmiyah, penemuan hasil riset, dsb
meupakan hal yang boleh dijual dengan catatan bahwa franchisee yang telah
menerima lisensi harus mendapatkan pengarahan standarisasi mutu produk,
agar konsumen tidak dirugikan karena mutu produk yang berbeda.
2. Konsep kerjasama pada Waralaba ada
kaitannya dengan Syirkatu Uquud, yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih
dalam usaha untuk mendapatkan hasil yang dapat dinikmati bersama. Dalam Al
Mulakhos Al fiqhy, Dr.Sholeh bin Fauzan Alu Fauzan Syirkatul uqud (kerjasama
dalam akad perdagangan)memiliki lima jenis yaitu:
a.
Terdiri dari Dua atau beberapa pihak yang berserikat
dalam modal dan tenaga. Ini disebut Syrikatul 'Inan.
b.
Berserikat dalam sebuah transaksi dimana salah satu pihak
dengan harta/modal dan pihak lain dengan tenaga. Inilah yang disebut
Mudharabah.
c.
Berserikat dalam sebuah transaksi dimana semua pihak tidak
memilik modal tapi mereka bisa mengadakan barang dengan modal kepercayaan,
kedudukan dan semisalnya, Ini disebut Syrikatul Wujuh.
d.
Bersyerikat dalam usaha dengan badan/tenaga mereka dalam
sebuah bisnis dan mereka berbagi dari keuntungan yang di dapat. Ini disebut
Syrikatul Abdan.
e.
Syirkah yang tergabung dalamnya empat jenis syerikat di
atas. Ini disebut Syrikatul Mufawadhah.
Tujuan dari syariah Islam (maqashid asy
syari`ah) adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat melalui suatu
tata kehidupan yang baik dan terhormat. Sama halnya dengan pendapat
As-Shatibi tujuan utama dari syariat Islam adalah mencapai kesejahteraan
manusia yang terletak pada lima ke-mashlahatan-an yaitu, keimanan (ad-dien),
ilmu (al-’ilm), kehidupan ( an-nafs ), harta ( al-maal ), dan keturunan (
an-nasl). Kelima mashlahah tersebut pada dasarnya merupakan sarana yang sangat
dibutuhkan bagi kelangsungan kehidupan yang baik dan terhormat.
Turunan dari tujuan syariah Islam
merupakan bagian dari lingkup tujuan ekonomi Islam. Dimana prinsip dasar dari
ekonomi Islam adalah menerapkan syariah islam dalam muamalah baik dari aspek
mikro ataupun makro.
Pola-pola yang dibangun dalam kemitraan bisnis waralaba
menuntut adanya kerjasama yang jelas (trasnparan) untuk tujuan keadilan sesuai
dengan prinsip dasar dari system ekonomi Islam. Sehingga memungkinkan bisa kita
munculkan skim syariah dalam prakteknya kemudian bisa kita sebut sebagai bisnis
waralaba (franchise) syariah.
Dasar Hukum Bisnis Waralaba Syariah
Bisnis waralaba syariah merupakan sebuah konsep
kerjasama yang menguntungkan antara dua pihak dalam mengembangkan usaha masing
masing, baik franchisor maupun franchisee, Hal ini sesuai dengan Firman Allah
Taala dalam konsep Ta'awun dan syirkah;
Artinya:
"…….Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya".
(QS. Al Maidah : 2)
Rasulullah
juga menerangkan sisi positif dari bersyarikat ini yaitu dalam hadist Qudsi:
“Dari
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu menuturkan : Bersabda Rasulullah SAW:
sesungguhnya Allah SWT berkata: " Aku adalah yang ketiga (penolong) dari
dua orang yang bersyarikat, selama salah satunya tidak menghianati
kawannya, apabila ia berhianat maka aku keluar dari persyerikatan dua
orang itu". ( HR.
Abu Dawud No.3383 )
Kemudian
menolong sesama merupakan hal yang terpuji, dengnnya akan datang pertolongan
Allah, seperti sabda Rasulullah SAW: yang diriwayatkan dari abi
hurairoh : " Allah senantiasa menolong hambanya selama hamba tersebut
menolong saudaranya. HR. Muslim No.6793.
Maka dalam konsep franchese memiliki salah satu konsep dari
syirkah, yang mana Franchisee mengeluarkan modal untuk operasional usahanya,
sedangkan Franchisor memberikan Hak patennya berupa hasil dari penelitian dan
suplay barang atau produk yang yang diwaralabakan, maka keadaan ini dapat
dikategorikan syirkatul Inan, dikarenakan
keduanya mengeluarkan modal dan tenaga, akan tetapi bila jenis waralaba hanya
berupa pemberian merek dagang/ lisensi, pelatihan Standar mutu produk dan
menejemen oprasional, adapun biayanya murni ditanggung Franchisee maka ini bisa
disebut Mudhorobah, karena Franchisor akan menerima royalty dari tenaganya atau
biasa disebut HAKI (Hak Kekayaan Intelektua). Wallahu ‘Alam.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Waralaba merupakan bentuk kerjasama dimana pemberi waralaba (franchisor)
memberikan ijjin/hak kepada penerima waralaba (franchisee) untuk menggunakan
hak intelektualnya seperti nama, merek dagang, produk /jasa, sistem operasi
usahanya dalam jangka waktu tertentu. Sebagai timbal balik, penerima waralaba
(franchisee) membayar suatu jumlah teretentu serta mengikuti sistem yang
ditetapkan franchisor.
2. Menjadikan
HAKI sebagai objek perjanjian waralaba, hukumnya adalah boleh (mubah). Dalam
fiqh muamalah, ukuran kebolehan menjadikan sesuatu sebagai objek perjanjian
adalah selama tidak mengandung unsur keharaman, baik ditinjau dari segi zatnya
(haram li dzatihi) maupun haram selain zatnya (haram li ghairihi),
serta selama tidak bertentangan ketentuan akad-akad syariah itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous.
Bisnis Waralaba Indonesia (Franchise News) 2006
Arifa’I,
Proposal Bisnis. Personal Franchise ( Waralaba Pribadi ) Bentuk
Usaha Alternatif Menjadi Jutawan Dalam Waktu Relatif Singkat. L4L Press.
Surakarta
Burhanuddin,
Hukum Kontrak Syariah, (BPFE-Yogyakarta: Yogyakarta, 2009)
Devi Azwar Tengku Keizerina, Perlindungan
Hukum Dalam Franchise, 2005
Fuady Munir. Pengantar Hukum Bisnis. PT. Citra
Aditya Bakti. Bandung. 2005
Naihasy Syahrin. Hukum
Bisnis (Business Law). Mida Pustaka. Yogyakarta. 2005
Setiawan Deden. Franchise
Guide Series – Ritel. Dian Rakyat. 2007
S.
Muharam. Apa itu Bisnis Waralaba. SMfr@nchise. January. 2003
Sutedi
Adrian. Hukum Waralaba (Bogor: Ghalia Indah) Juli 2008
\\http :
www.waralaba.com, 19.00 WIB tanggal 30 Maret 2008
[1] Syahrin Naihasy, Hukum Bisnis
(Business Law), Mida Pustaka, Yogyakarta, 2005, hlm. 8
[2] S. Muharam, Apa itu Bisnis
Waralaba, SMfr@nchise, January, 2003
[3]
Arifa’I,
Proposal Bisnis, Personal Franchise ( Waralaba Pribadi ) Bentuk
Usaha Alternatif Menjadi
Jutawan
Dalam Waktu Relatif Singkat,
L4L Press, Surakarta, hlm. 56
[4]
Adrian Sutedi, SH.,M.H. Hukum Waralaba (Bogor: Ghalia Indah)Juli 2008, hal 6
[5]
Ibid., hal 7
[6] Munir Fuady, Pengantar Hukum
Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.339
[7] Ibid., 340-345
[8]
Anonymous, Bisnis Waralaba Indonesia (Franchise News) 2006
[9] Deden Setiawan, Franchise
Guide Series – Ritel, Dian Rakyat, 2007, hlm. 13
[10] http : www.waralaba.com, 19.00
WIB tanggal 30 Maret 2008
[11] Tengku Keizerina Devi Azwar, Perlindungan
Hukum Dalam Franchise, 2005, hlm. 1 - 2
[12] Deden Setiawan, op. cit,
hlm. 6
[13] Tengku Keizerina Devi Azwar, op.
cit, hlm. 2
[14]
Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah, (BPFE-Yogyakarta: Yogyakarta, 2009)
hal 242-244
[15] Ibid.
247-249
La Bet dafabet dafabet bet365 bet365 jeetwin jeetwin planet win 365 planet win 365 ボンズ カジノ ボンズ カジノ 카지노사이트 카지노사이트 カジノ シークレット カジノ シークレット 우리카지노 우리카지노 521 The 5 Best The 5 Best The 5 Best The 5. - KONOASINO
BalasHapus