BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya, maka kita akan
memasuki lapangan antropologi fisik. Tapi bila manusia dilihat dari aspek
rohaninya, kita akan menelusuri medan antropologi kebudayaan. Dikatakan
demikian dikarenakan cara berfikir atau cara merasa akan membentuk cara hidup.
Sedangkan cara hidup bisa berwujud cara bertindak, cara bergaul, cara
berekonomi, cara berorganisasi, cara berpolotik, cara berteknologi dan demikian
seterusnya.
Dan semua cara tersebut dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai
norma kehidupan. Dan setiap orang melakukan sesuatu dikarenakan sesuatu
tersebut dianggap bernilai. Ia tidak melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak
bernilai. Dari sini jelas bahwa cara hidup itu dibentuk oleh nilai-nilai. Suatu
masyarakat memilih cara hidup tertentu berdasarkan nilai-nilai yang dihayatinya.
Islam dalam banyak ajarannya bersikap sangat kooperatif dalam
menyikapi sebuah kebiasaan (kebudayaan). Adat istiadat sebagai sebuah proses
dialektik sosial dan kreativitas alamiyah manusia tidak harus dieliminasi,
dibasmi atau dianggap musuh yang membahayakan. Melainkan dipandang sebagai
partner dan elemen yang harus diadopsi secara selektif dan proporsional.
Melalui kaidah ini ditegaskan, sebuah tradisi atau adat istiadat, baik yang
bersifat individual maupun kolektif dapat dijadikan piranti penunjang
hukum-hukum syari’at.
Fenomena kebudayaan bukanlah sebuah dalil yang berdiri sendiri dan
akan melahirkan produk hukum baru, melainkan sekedar ornamen untuk meligitimasi
hukum-hukum syariat. Dan perlu dicatat pula, yang bisa dijadikan piranti hukum
hanyalah adat istiadat yang dianggap baik menurut perspektif syariat dan
tentunya tidakbertentangan dengan nash-nash syar’i.
Berkaitan dengan ini fuqaha’ sebagaimana dikutip al-suyuthi
memberikan batasan bahwa adat istiadat yang bisa mendapat legistasi syariat
adalah segala sesuatu yang tidak mempunyai batasan syariat (qayyid syar’i)
ataupun batasan bahasa (qayyid lughawi). Maksudnya, jika syariat hanya
memberikan ketentuan secara umum maka batasan pastinya deserahkan pada
penilaian adat-istiadat yang berlaku.
Seperti halnya syariat hanya memberi batasan umum bahwa niat harus
bersamaan dengan permulaan shalat, yang dalam hal ini adalah takbiratul ihram.
Karena itulah, penilaian bersamaan antara niat dengan takbiratul
ihramdiserahkan pada kebiasaan umum yang mampu dilakukan manusia. Sehingga
tercetus istilah muqaranah ‘urfiyah, atau kebersamaan secara umum, yakni
kebersamaan antara niat dalam seluruh takbir atau sebagiannya saja, serta bisa
pula pada permulaan atau akhirnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Mencari cabang dari kaidah al-adah muhakkamah
2. Apa arti kaidah tersebut?
3. Apakah aplikasinya dalam fiqh muamalah?
C.
Tujuan Masalah
1. Mendapatkan kaidah yang berupa cabang dari kaidah al-adah muhakkamah
2. Mengetahui arti dari kaidah tersebut
3. Mengaplikasannya dengan kasus riba
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teks Kaidah
المُمْتَنَعُ عَادَةً كَلْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
B.
Arti Kaidah
Dalam mengartikan arti
kaidah di atas penulis mendapatkan dua versi yang berbeda dalam segi bahasa,
namun dalam segi maksud yang sama, yaitu:
Sesuatu yang terlarang
secara adat itu seperti terlarang secara hakekaat (fakta) dan Sesuatu yang tidak
berlaku secara adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan.[1]
Namun, pada dasarnya jika
dilihat secara maknanya dua arti ini tidaklah berbeda walaupun pada dasarnya
dalam penyusunan bahasa sangatlah berbeda.
C.
Maksud Kaidah
Kaidah ini (المُمْتَنَعُ عَادَةً كَلْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً) merupakan cabang kedua dari kaidah pokok
yang kelima yaitu العَدَةُ مُحَكَّمَةٌ , sedangkan maksud dari
cabang kaidah tersebut adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat
kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataan.
Berhubung
kaidah ini merupakan cabang dari kaidah pokok العَدَةُ مُحَكَّمَةٌ, maka cara apenerapan atau
aplikasinya tidaklah jauh berbeda dengan aplikasi dari العَدَةُ مُحَكَّمَةٌ. Jadi, pengertian dasar dari
kaidah ini sama dengan pengertian kaidah pokok, yakni diambil dari kata al-‘adalah
yang secara bahasa berasal dari kata al-‘aud (العود) atau
al-Mu’awwadah (المُعَاوَدَةٌ) yang
artinya berulang (التِكرَار).
Ibnu Nuzaim mendefinisikan
al-‘adah dengan:
عِبَرَةٌ عَمَّا يُستَقَرُ فِي النُفُوسِ مِنَ الأُمُورِ
المُتَكَررةِ المَقْبُولَةِ عِندَ الطِبَاعِ السَلِيمَةِ
“sesuatu ungkapan dari apa
yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh
tabiat (perangai) yang sehat”
Para ‘ulama mengartikan
kaidah al-‘adalah dalam pengertian yang sama, karena substansinya sama,
meskipun dengan ungkapan yang berbeda dengan:
العُرفُ هُو ما تَعَارَفَ عليهِ الناسُ في أَقوالهِم و أفعَالهِم
حتَّى صار ذالِكَ مطَّرِدا أو غَالبًا
“’Urf
adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya
dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum”.[2]
Dan kata ‘urf sendiri adalah kata bahasa Arab yang artinya
dalam bahasa kita, kurang lebih sama dengan adat, kebiasaan. Jadi, ‘urf ini
adalah kata lain dari pada adat.[3]
Dari definisi adat menurut
dua ulama di atas, ada dua hal penting yaitu: pertama, di dalam al-‘adah ada unsur berulang-ulang dilakukan dan dalam
al-‘urf ada unsur (al-ma’ruf) dikenal sebagai sesuatu yang baik. Kata-kata
al-‘urf ada hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik.
Tidak hanya benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik juga untuk
dilakukan atau diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan “al-amr bi al-ma’ruf
wa al-nahy ‘an al-munkar” dalam al-Qur’an.
Bisa ditarik kesimpulan
dari dua definisi di atas bahwa pengertian dari al-‘adah atau ‘urf adalah: apa
yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘ammah)
yang dilakukan beulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Persamaan antara ‘urf dan
al-‘adah sangatlah erat, namun pada dasarnya kedua kata ini memiliki arti yang
berbeda, perbedaan tersebut adalah:
Secara
etimologis istilah al-‘adah terbentuk dari masdar al-‘awd dan al-mu’awadah
yang kurang lebih berarti”pengulangan kembali”. Sedangkan al-‘urf terbentuk dari akar kata al-muta’raf yang mempunyai makna”saling mengetahui”.
Dengan demikian proses terbentuknya adat menurut Muhammad Shidqi adalah
akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus. Proses
pengulangan inilah yang disebut al-‘awd wa al mu’wadah. Ketika
pengulangan itu membuatnya tertanam dalam hati setiap orang, maka ia telah
memasuki stadium al-muta’araf. Tepat dititik ini adat telah ”berganti
baju” menjadi ‘urf. Karena itu, menurut sebagian fuqaha’ adat dan ‘urf secara
terminologis tidak mempunyai perbedaan prinsipil. Artinya penggunaan istilah
‘urf dan adat tidak mengandung perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum
yang berbeda pula.
Dalam
kenyataanya, banyak ulama’fikh mengartikan ‘urf sebagai kebiasaan yang
dilakukan banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreativitas-imajenatif
manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Pada domain ini baik dan buruknya
kebiasaan itu tidak menjadi persoalan urgen, asalkan dilakukan secara kolektif,
maka sudah ia termasuk katagori ‘urf. Berbeda dengan adat yang oleh
fuqaha’diartikan sebagai tradisi secara umum, tanpa memandang apakah dilakukan
oleh satu orang atau satu kelompok.
Dari
definisi diatas dapat disimpulkan istilah adat dan ‘urf memang berbeda bila
ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaanya, istilah adat hanya
menekankan aspek pengulangan pekerjaan, sementara ‘urf hanya melihat pelakunya.
Disamping itu, adat bisa dilakukan oleh pribadi atau kelompok, sementara ‘urf
harus dijalani oleh kelompok atau komunitas tertentu. Simpelnya, adat hanya
melihat aspek pekerjaan, ‘urf lebih menekankan sisi pelakunya.
Persamaanya,
adat dan ‘urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam
dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya.
Titik perbedaan dan persamaan dalam alinea diatas sebenarnya muncul karena
dilatarbelakangi banyaknya definisi yang ditawarkan masing-masing ulama’.
D. Dasar Kaidah
Kaidah ini bersumber dari
sabda Nabi SAW:
ما رَواهُ المُسلمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِندَ اللهِ حسَنٌ
“Apapun
yang menurut kaum muslimin pada umumnya baik, maka baik pula bagi Allah”
Hal ini tentu saja
sepanjang tidak bertentangan dengan dalil nash. Jika bertentangan dengan dalil
nash maka adat atau kebiasaan tersebut tidaklah dijadikan aturan didaerah
tersebut.[4]
Sedangkan dalil tentang
adat atau ‘urf menurut al-Qur’an:
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
“ Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Menurut As-Suyuthi seperti dikutip Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani
kata ‘urf pada ayat di atas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat.
Ditegaskan juga oleh Syaikh Yasin, adat yang dimaksud di sini adalah adat yang
tidak bertentangan dengan syariat. Namun pendapat ini dianggap lemah oleh
komunitas ulama lain. Sebab, jika al-‘urf diartikan sebagai adat istiadat, maka
sangat tidak selaras dengan asbab al-nuzul-nya, di mana ayat ini diturunkan
dalam konteks dakwah yang telah dilakukan Nabi saw. Kepada orang-orang Arab
yang berkarakter keras dan kasar, juga kepada orang-orang yang masih lemah
imannya. Dengan latar belakang semacam ini, al-‘urf yang tertera dalam ayat di
atas bukanlah adat, melainkan metode dan etika dakwah yang harus dilakukan Nabi
saw[5]
E.
Aplikasi Kaidah
Aplikasi dalam kaidah ini diantaranya adalah seseorang mengaku
bahwa harta yang ada pada orang lain itu adalah miliknya, tetapi dia tidak bisa
menjelaskan dari mana asal harta tersebut.
a.
Aplikasi
dalam Fiqh Muamalah
Aplikasi kaidah المُمْتَنَعُ عَادَةً كَلْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً dalam fiqh muamalah yakni bisa termasuk pada pembahasan riba, yakni riba
ini telah dilarang secara adat dan begitu pula dalam hukum Islam telah
jelas-jelas dilarang, seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275:
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”
Namun
demikian, masih saja praktek riba ini temukan di mana saja, begitu halnya
dengan jual beli. Seperti penjualan kacang yang baru dari sawah dan masih
bercampur dengan tanah, hal ini akan mengurangi timbangan kacang yang
sebenarnya dikarenakan bercampurnya dengan tanah tadi. Dan hal ini telah
menjadi kebiasaan penduduk setempat, terutama di daerah pelosok-pelosok yang
tidak cakap hukum.
Dan riba ini
termasuk juga pada adat yang dilarang, bukan adat yang diperbolehkan. Dengan
kata lain, konteks haidits ما رَواهُ المُسلمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِندَ اللهِ حسَنٌ tidak
berlaku pada adat ini. Dikarenakan adat ini termasuk pada adat yang fasid, yaitu
adat yang berlawanan dengan dalil syariat.
b. Aplikasi Kaidah dalam KHES
Dalam KHES buku II bab XXII Pasar Moda bagian Ketiga pada
Transaksi Efek pasal 583 pada ayat 1 “Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati
hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di
dalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan
kezhaliman”. Serta pada ayat 2 poin G “ihtikar/penimbunan; melakukan pembelian
atau dan pengumpulan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga efek
syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain”.[6] Dapat disimpulkan bahwa
riba semacam tersebut memang telah dilarang, meski telah menjadi tradisi pada
tempat-tempat tertentu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada cabang
kaidah al-‘adah muhakkamah yaitu “al-mumtana’u adatan kalmumtana’i haqiqatan” menjelaskan tentang sesuatu yang dilarang secara adat juga terlarang
secara hakekat (fakta). Dan hal ini terjadi pada riba yang dilakukan oleh
masyarakat setempat atau masyarakat yang tidak cakap hukum. Meski kebiasaan ini
terus berlanjut, tetap saja rasio tidak menerima akan hal ini begitu pula
dengan hukum-hukum yang telah berlaku melarangnya. Dan adat ini juga termasuk
pada adat fasid.
DAFTAR PUSTAKA
A.Djazuli. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta:
Kencana.
Maimoen Zubair. 2006. Formulasi Nalar
Fiqh. Surabaya: Khalista.
Moh.Adib
bishri.1977. Terjemah Faraidul bahiyah.Rembang: Menara kudus.
Nashr Farid Muhammad Washil. 2009. Qawaid
Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah.
Pusat
kajian Masyarakat.KHES. 2009. Jakarta: Prenada Media Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar