Minggu, 01 Juli 2012

Aplikasi Al-mumtana'u Kal Mumtana'i Haqiqatan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya, maka kita akan memasuki lapangan antropologi fisik. Tapi bila manusia dilihat dari aspek rohaninya, kita akan menelusuri medan antropologi kebudayaan. Dikatakan demikian dikarenakan cara berfikir atau cara merasa akan membentuk cara hidup. Sedangkan cara hidup bisa berwujud cara bertindak, cara bergaul, cara berekonomi, cara berorganisasi, cara berpolotik, cara berteknologi dan demikian seterusnya.
Dan semua cara tersebut dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma kehidupan. Dan setiap orang melakukan sesuatu dikarenakan sesuatu tersebut dianggap bernilai. Ia tidak melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak bernilai. Dari sini jelas bahwa cara hidup itu dibentuk oleh nilai-nilai. Suatu masyarakat memilih cara hidup tertentu berdasarkan nilai-nilai yang dihayatinya.
Islam dalam banyak ajarannya bersikap sangat kooperatif dalam menyikapi sebuah kebiasaan (kebudayaan). Adat istiadat sebagai sebuah proses dialektik sosial dan kreativitas alamiyah manusia tidak harus dieliminasi, dibasmi atau dianggap musuh yang membahayakan. Melainkan dipandang sebagai partner dan elemen yang harus diadopsi secara selektif dan proporsional. Melalui kaidah ini ditegaskan, sebuah tradisi atau adat istiadat, baik yang bersifat individual maupun kolektif dapat dijadikan piranti penunjang hukum-hukum syari’at.
Fenomena kebudayaan bukanlah sebuah dalil yang berdiri sendiri dan akan melahirkan produk hukum baru, melainkan sekedar ornamen untuk meligitimasi hukum-hukum syariat. Dan perlu dicatat pula, yang bisa dijadikan piranti hukum hanyalah adat istiadat yang dianggap baik menurut perspektif syariat dan tentunya tidakbertentangan dengan nash-nash syar’i.
Berkaitan dengan ini fuqaha’ sebagaimana dikutip al-suyuthi memberikan batasan bahwa adat istiadat yang bisa mendapat legistasi syariat adalah segala sesuatu yang tidak mempunyai batasan syariat (qayyid syar’i) ataupun batasan bahasa (qayyid lughawi). Maksudnya, jika syariat hanya memberikan ketentuan secara umum maka batasan pastinya deserahkan pada penilaian adat-istiadat yang berlaku.
Seperti halnya syariat hanya memberi batasan umum bahwa niat harus bersamaan dengan permulaan shalat, yang dalam hal ini adalah takbiratul ihram. Karena itulah, penilaian bersamaan antara niat dengan takbiratul ihramdiserahkan pada kebiasaan umum yang mampu dilakukan manusia. Sehingga tercetus istilah muqaranah ‘urfiyah, atau kebersamaan secara umum, yakni kebersamaan antara niat dalam seluruh takbir atau sebagiannya saja, serta bisa pula pada permulaan atau akhirnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mencari cabang dari kaidah al-adah muhakkamah
2.      Apa arti kaidah tersebut?
3.      Apakah aplikasinya dalam fiqh muamalah?
C.    Tujuan Masalah
1.      Mendapatkan kaidah yang berupa cabang dari kaidah al-adah muhakkamah
2.      Mengetahui arti dari kaidah tersebut
3.      Mengaplikasannya dengan kasus riba





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teks Kaidah
المُمْتَنَعُ عَادَةً كَلْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
B.     Arti Kaidah
Dalam mengartikan arti kaidah di atas penulis mendapatkan dua versi yang berbeda dalam segi bahasa, namun dalam segi maksud yang sama, yaitu:
Sesuatu yang terlarang secara adat itu seperti terlarang secara hakekaat (fakta) dan Sesuatu yang tidak berlaku secara adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan.[1]
Namun, pada dasarnya jika dilihat secara maknanya dua arti ini tidaklah berbeda walaupun pada dasarnya dalam penyusunan bahasa sangatlah berbeda.
C.    Maksud Kaidah
Kaidah ini (المُمْتَنَعُ عَادَةً كَلْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً) merupakan cabang kedua dari kaidah pokok yang kelima yaitu العَدَةُ مُحَكَّمَةٌ , sedangkan maksud dari cabang kaidah tersebut adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataan.
Berhubung kaidah ini merupakan cabang dari kaidah pokok العَدَةُ مُحَكَّمَةٌ, maka cara apenerapan atau aplikasinya tidaklah jauh berbeda dengan aplikasi dari العَدَةُ مُحَكَّمَةٌ. Jadi, pengertian dasar dari kaidah ini sama dengan pengertian kaidah pokok, yakni diambil dari kata al-‘adalah yang secara bahasa berasal dari kata al-‘aud (العود) atau al-Mu’awwadah (المُعَاوَدَةٌ) yang artinya berulang (التِكرَار).
Ibnu Nuzaim mendefinisikan al-‘adah dengan:
عِبَرَةٌ عَمَّا يُستَقَرُ فِي النُفُوسِ مِنَ الأُمُورِ المُتَكَررةِ المَقْبُولَةِ عِندَ الطِبَاعِ السَلِيمَةِ
“sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”
Para ‘ulama mengartikan kaidah al-‘adalah dalam pengertian yang sama, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda dengan:
العُرفُ هُو ما تَعَارَفَ عليهِ الناسُ في أَقوالهِم و أفعَالهِم حتَّى صار ذالِكَ مطَّرِدا أو غَالبًا
“’Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum”.[2]
Dan kata ‘urf  sendiri adalah kata bahasa Arab yang artinya dalam bahasa kita, kurang lebih sama dengan adat, kebiasaan. Jadi, ‘urf ini adalah kata lain dari pada adat.[3]
Dari definisi adat menurut dua ulama di atas, ada dua hal penting yaitu: pertama, di dalam al-‘adah  ada unsur berulang-ulang dilakukan dan dalam al-‘urf ada unsur (al-ma’ruf) dikenal sebagai sesuatu yang baik. Kata-kata al-‘urf ada hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik juga untuk dilakukan atau diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan “al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar” dalam al-Qur’an.
Bisa ditarik kesimpulan dari dua definisi di atas bahwa pengertian dari al-‘adah atau ‘urf adalah: apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘ammah) yang dilakukan beulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Persamaan antara ‘urf dan al-‘adah sangatlah erat, namun pada dasarnya kedua kata ini memiliki arti yang berbeda, perbedaan tersebut adalah:
Secara etimologis istilah al-‘adah terbentuk dari masdar al-‘awd dan al-mu’awadah yang kurang lebih berarti”pengulangan kembali”. Sedangkan al-‘urf  terbentuk dari akar kata al-muta’raf  yang mempunyai makna”saling mengetahui”. Dengan demikian proses terbentuknya adat menurut Muhammad Shidqi adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus. Proses pengulangan inilah yang disebut al-‘awd wa al mu’wadah. Ketika pengulangan itu membuatnya tertanam dalam hati setiap orang, maka ia telah memasuki stadium al-muta’araf. Tepat dititik ini adat telah ”berganti baju” menjadi ‘urf. Karena itu, menurut sebagian fuqaha’ adat dan ‘urf secara terminologis tidak mempunyai perbedaan prinsipil. Artinya penggunaan istilah ‘urf dan adat tidak mengandung perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda pula.
Dalam kenyataanya, banyak ulama’fikh mengartikan ‘urf sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreativitas-imajenatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Pada domain ini baik dan buruknya kebiasaan itu tidak menjadi persoalan urgen, asalkan dilakukan secara kolektif, maka sudah ia termasuk katagori ‘urf. Berbeda dengan adat yang oleh fuqaha’diartikan sebagai tradisi secara umum, tanpa memandang apakah dilakukan oleh satu orang atau satu kelompok.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan istilah adat dan ‘urf memang berbeda bila ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaanya, istilah adat hanya menekankan aspek pengulangan pekerjaan, sementara ‘urf hanya melihat pelakunya. Disamping itu, adat bisa dilakukan oleh pribadi atau kelompok, sementara ‘urf harus dijalani oleh kelompok atau komunitas tertentu. Simpelnya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, ‘urf lebih menekankan sisi pelakunya.
Persamaanya, adat dan ‘urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Titik perbedaan dan persamaan dalam alinea diatas sebenarnya muncul karena dilatarbelakangi banyaknya definisi yang ditawarkan masing-masing ulama’.

D.    Dasar Kaidah
Kaidah ini bersumber dari sabda Nabi SAW:
ما رَواهُ المُسلمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِندَ اللهِ حسَنٌ
“Apapun yang menurut kaum muslimin pada umumnya baik, maka baik pula bagi Allah”
Hal ini tentu saja sepanjang tidak bertentangan dengan dalil nash. Jika bertentangan dengan dalil nash maka adat atau kebiasaan tersebut tidaklah dijadikan aturan didaerah tersebut.[4]
Sedangkan dalil tentang adat atau ‘urf menurut al-Qur’an:
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ  
“ Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Menurut As-Suyuthi seperti dikutip Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani kata ‘urf pada ayat di atas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga oleh Syaikh Yasin, adat yang dimaksud di sini adalah adat yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun pendapat ini dianggap lemah oleh komunitas ulama lain. Sebab, jika al-‘urf diartikan sebagai adat istiadat, maka sangat tidak selaras dengan asbab al-nuzul-nya, di mana ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah yang telah dilakukan Nabi saw. Kepada orang-orang Arab yang berkarakter keras dan kasar, juga kepada orang-orang yang masih lemah imannya. Dengan latar belakang semacam ini, al-‘urf yang tertera dalam ayat di atas bukanlah adat, melainkan metode dan etika dakwah yang harus dilakukan Nabi saw[5]

E.     Aplikasi Kaidah
Aplikasi dalam kaidah ini diantaranya adalah seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu adalah miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal harta tersebut.
a.       Aplikasi dalam Fiqh Muamalah
Aplikasi kaidah   المُمْتَنَعُ عَادَةً كَلْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً dalam fiqh muamalah yakni bisa termasuk pada pembahasan riba, yakni riba ini telah dilarang secara adat dan begitu pula dalam hukum Islam telah jelas-jelas dilarang, seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275:
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ  
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Namun demikian, masih saja praktek riba ini temukan di mana saja, begitu halnya dengan jual beli. Seperti penjualan kacang yang baru dari sawah dan masih bercampur dengan tanah, hal ini akan mengurangi timbangan kacang yang sebenarnya dikarenakan bercampurnya dengan tanah tadi. Dan hal ini telah menjadi kebiasaan penduduk setempat, terutama di daerah pelosok-pelosok yang tidak cakap hukum.
Dan riba ini termasuk juga pada adat yang dilarang, bukan adat yang diperbolehkan. Dengan kata lain, konteks haidits ما رَواهُ المُسلمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِندَ اللهِ حسَنٌ tidak berlaku pada adat ini. Dikarenakan adat ini termasuk pada adat yang fasid, yaitu adat yang berlawanan dengan dalil syariat.

b.      Aplikasi Kaidah dalam KHES
Dalam KHES buku II bab XXII Pasar Moda bagian Ketiga pada Transaksi Efek pasal 583 pada ayat 1 “Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman”. Serta pada ayat 2 poin G “ihtikar/penimbunan; melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga efek syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain”.[6] Dapat disimpulkan bahwa riba semacam tersebut memang telah dilarang, meski telah menjadi tradisi pada tempat-tempat tertentu.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada cabang kaidah al-‘adah muhakkamah yaitu “al-mumtana’u adatan kalmumtana’i haqiqatan” menjelaskan tentang sesuatu yang dilarang secara adat juga terlarang secara hakekat (fakta). Dan hal ini terjadi pada riba yang dilakukan oleh masyarakat setempat atau masyarakat yang tidak cakap hukum. Meski kebiasaan ini terus berlanjut, tetap saja rasio tidak menerima akan hal ini begitu pula dengan hukum-hukum yang telah berlaku melarangnya. Dan adat ini juga termasuk pada adat fasid.



 

DAFTAR PUSTAKA

A.Djazuli. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana.
Maimoen Zubair. 2006. Formulasi Nalar Fiqh. Surabaya: Khalista.
Moh.Adib bishri.1977. Terjemah Faraidul bahiyah.Rembang: Menara kudus.
Nashr Farid Muhammad Washil. 2009. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah.
Pusat kajian Masyarakat.KHES. 2009. Jakarta: Prenada Media Group.



[1] A. djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana, 87
[2] A. djazuli, hlm. 79-80.
[3] Moh. Adib Bisri, Tarjamah al Faraidul Bahaiyyah, Menara Kudus:1397 H. 26.
[4] Moh. Adib Bisri, hlm.24-25.
[5] Mimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh. Surabaya: Khalista. 269.
[6] KHES, Pusat pengkajian hukum Islam, 2009, hlm, 150, 151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar