Sabtu, 30 Juni 2012

Mahkum 'Alaih


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu
Dalam proses kehidupan manusia yang dimulai dari fase janin dan kanak-kanak, baligh, dan proses sesudah dewasa, dimana pada fase janin, bayi dan kanak-kanak, manusia memiliki hak-hak kemanusiaan yang sama dengan manusia dewasa. Misalnya hak mendapatkan warisan.
Dan apabila janin tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup, maka berhak dihormati kehidupan dan kehormatannya. Apabila sudah sampai balig, yang merupakan batas mulai terkena taklif, maka disamping mempunyai hak, juga mempunyai kewajiban hidup, yang merupakan subyek hukum. Sementara anak kecil yang melakukan sholat, puasa dan perbuatan ibadah lainya, yang dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya, namun parbuatan ibadah tersebut sesungguhnya bukan kewajibanya. Karena anak tersebut belum sampai pada taklif, yakni batas dinilai melakukan kewajibanya.
Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode Ushul Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini.
B. Rumusan Masalah
  1. Apakah pengertian Mahkum Alaih?
  2. Apa dasar-dasar Taklif?
  3. Apa syarat-syarat Mahkum Alaih?
  4. Apa deffinisi dan pembagian Ahliyyah?
  5. Apa Taklif (Badan Hukum) terhadap orang kafi?
C. Tujuan
  1. Mengetahui definisi Mahkum ‘Alaih.
  2. Mengetahui dasar-dasar Taklif.
  3. Mengetahui syarat-syarat Mahkum ‘Alaih.
  4. Mengetahui definisi dan pembagian ‘Ahliyyah.
  5. Mengetahui Taklif (Badan Hukum) terhadap orang kafir.

 

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Mahkum ‘Alaih
Para ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih (المحكوم عليه) adalah mukalaf  yang terkait perbuatanya dengan hukum syara’.[1] Secara etimologi, Mukalaf berarti yang dibebabani hukum. Dalam Ushul Fiqh, istilah Mukalaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum).
Orang mukalaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukalaf harus dipertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah SWT, maka ia mendapat imbalan pahala dan kewajibanya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah SWT, maka dia pun juga akan  mendapat resiko dosa dan kewajibanya belum terpenuhi.

B.  Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu para ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan, bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif  yang ditunjukan kepadanya. Dengan demikian orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif, karena mereka tidak atau belum berakal. Sehingga, dengan demikian mereka dianggap tidak bisa memahami taklif dari syara’.
Termasuk kedalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa tidak dikenai taklif karena dia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini senada dengan sabda Rosulullah Saw:

رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
“Diangkatlah pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.” (H.R. al- Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin abi thalib).

Dalam hadis lain dikatakan:
رُفِعَ آُمَّتِي عَنِ الْخَطَإِ وَالنًّسْيَا نِ وَمَا اسْتُكْرِ هُوْا لَهُ
Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa. (H.R. Ibn Majah dan al-Thabrani)[2]

Begitu juga dalam Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat: 43 sebagai berikut
                                                                                                 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (43)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci) sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”(QS. An-Nisa ayat: 43).



Dan juga dalam QS. Ibrahim Ayat 4
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (4)
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 4)

C.    Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih
Seseorang bisa atau dianggap layak untuk dibebani hukum Taklif  apabila telah ada beberapa syarat di dalam dirinya, diantaranya:
1.      Mampu memahami dalil-dalil hukum, baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain, minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau dari hadits Rasulullah. Adanya kemampuan memahami hukum Taklifi itu disebabkan orang tersebut mempunyai akal yang sempurna.
Bilamana diukur dengan pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi wanita dengan mulainya menstruasi dan bagi laki-laki mimpi pertama bersenggama. Namun, jika pada umur lima belas tahun wanita tersebut tidak haid dan laki-laki tidak mimpi, maka umur lima belas tahun itu dijadikan batas umur minimal baligh berakal.[3]
Bagi hal diatas, anak-anak dan orang gila tidak dikenai Taklif  karena mereka tidak punya alat untuk memahaimi Taklif  tersebut. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur dan mabuk, karena dalam keadaan demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada mereka.[4]
Oleh karena itu rasulullah SAW bersabda:

رفع القلم عن ثلاثة: عن النائم حتى يستيقظ, وعن الصبي حتى يحتلم, وعن المجنون حتى يعقل.
“Diangkatlah pena itu (tidak terkena tuntutan hukum) atas tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh (dewasa) dan orang gila sampai dia berakal.”

من نام عن صلاة أنسيها فليصلها إذا ذكرها, فإن ذلك وقتها.
“Barangsiapa tidur sampai tidak melakukan shalat (habis waktunya) atau lupa mengerjakannya maka hendaklah dia shalat ketika dia ingat, karena sesungguhnya ketika ingat itulah waktu shalatnya.”
Sedangkan kewajiban zakat, nafkah dan jaminan atas anak kecil dan orang gila bukan merupakan beban atas keduanya, akan tetati beban si wali untuk melaksanakan kewajiban harta, sebagaimana membayar pajak air dan harta milik keduanya.[5]
Dan bagi orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan orang yang tidak bisa memahami dalil-dalil syara’ baik dari al-Qur’an maupun dari as-Sunnah, seperti bangsa-bangsa selain bangsa Arab, maka tidak sah menuntut mereka secara syara’ kecuali mereka belajar bahasa Arab ataupun mereka bisa memahami nash-nasnya, atau jika dalil-dalil tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
2.      Mukallaf atau juga disebut dengan ahliyyah, yakni ahli dengan sesuatu yang telah  ditaklifkan atau dibebankan padanya. Orang yang belum termasuk kelompok ahliyyah, maka ia belum dapat dibebani dengan taklif dan semua tindakanya tidak dapat diminta pertanggungjawaban.

D.    Ahliyyah 
1)      Pengertian Ahliyyah
Secara bahasa kata ahliyyah berarti kemampuan atau kecakapan. Misalnya, ungkapan yang menyatakan seseorang ahli untuk melakukan suatu pekerjaan. Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa orang itu memiliki kemampuan dan kecakapan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.[6]
Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyyah secara terminology sebagai berikut:
صِفَةٌ يُقَدِّ رُهَا الشَّا رِعُ فىِ الشَّخْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلًّا صَا لِحًا لِخِطَا بٍ تَشْرِيْعِيٍّ
Artinya: “suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’i untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntunan syara’.” (H.R. Bukhori)
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan demikian jual-belinya, hibbahnya, dan lain-lain dianggap sah. Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.[7]

2)      Pembagian Ahliyyah
Kemampuan atau kecakapan untuk bertindak hukum dan dikenai taklif sejalan dengan tahapan perkembangan jasmani dan akalnya. Sehubungan dengan ini, para ahli ushul fiqh membagi ahliyyah menjadi 2, yaitu ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada’.
a.    Ahliyah Wujub,
adalah kepantasan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban. Dengan kata lain, kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu sesama manusia laki-laki perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun waras, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wujub. Ditinjau dari segi ahliyatul-wujub, manusia itu terbagi kepada dua bagian, yaitu:
·           Ahliyyah al-wujub al-naqishah
Yaitu ketika seorang masih berada dalam kandungan ibunya(janin). Janin dianggap memiliki ahliyyah al-wujub yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya.
Para ulama’ushul fiqh menetapkan ada empat hak dari seorang janin yang masih dalam kandungan ibunya, yaitu:
                  1.     Hak keturunan dari ayahnya
                  2.     Hak warisan dari ahli warisnya yang meninggal dunia, dalam kaitan ini bagian harta yang harus dia terima diperkirakan dari jumlah terbesar yang akan ia terima, karena jika ia seorang laki-laki maka bagianya lebih besar dari seorang wanita, apabila ternyata janin itu wanita, maka kelebihan warisan yang disisakan itu dikembalikan kepada ahli waris lain,
                  3.     Wasiat yang ditujukan kepadanya,
                  4.     Harta waqaf yang ditujukan kepadanya,
Para ulama’ fiqh menetapkan bahwa wasiat dan waqaf merupakan transaksi sepihak, dalam arti pihak yang menerima wasiat atau waqaf tidak harus menyatakan persetujuanyauntuk sahnya akad tersebut. Apabila seseorang memberi wasiat atau mewaqafkan hartanya kepada orang lain, maka penerima wasiat dan wakqaf ini tidak perlu menyatakan penerimaanya. Oleh sebab itu, wasiat atau waqaf yang diperuntukan kepada janin, secara otomatis wasiat atau waqaf tersebut menjadi milik janin.[8]
·                Ahliyyah al-wujub al-kamilah
Yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak. Adanya sifat sempurna dalam bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya sekaligus. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas.
Contoh ahliyyah al-wujub al-kamilah adalah anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya, ia juga telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta, menurut sebagian pendapat ulama’yang pelaksanaanya dilakukan oleh orang tua atau walinya.
Demikian pula orang yang sedang sekarat, disamping ia berhak menerima harta warisan dari orang tua atau kerabatnya yang lebih dulu meninggal, ia juga dibebani kewajiban zakat atas hartanya yang telah memenuhi syarat untuk dizakatkan.[9]
b.    Ahliyah al-Ada’
adalah kepantasan seorang untuk diperhitungkan oleh syara’, ucapan dan perbuatannya ucapan dan perbuatannya dengan pengertian apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara’ menilai bahwakewajibannya telah tunai dan gugur dari padanya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk menentukan ahliyah ada’ adalah tamyiz. Oleh karena itu manusia yang tergolong pada ahliyah ada’ hanyalah manusia yang mumayiz saja.[10]
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-ada’terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah:
·         ‘adim al-ahliyyahatau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun. Perbuatan anak-anak dalam umur ini tidak dikenai hukum, ucapanya pun tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang dilakukanya dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.
·         Ahliyyah al-ada’naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz(kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Penamaan naqishah(lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam hubunganya dengan hukum, sebagian tindakanya telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau perbuatanya terbagi kepada 3 tingkat, dan setiap tingkat mempunyai akibat hukum tersendiri, yaitu:
ü  Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya; umpamanya menerima pemberian(hibah) dan wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya.
ü  Tindakan yang semata-mata merugikanya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya; umpamanya pemberian yang dilakukanya, baik dalam bentuk hibah atau shadaqah, pembebasan hutang, jual beli dengan harga yang tidak pantas. Segala tindakanya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh mumayyiz dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat hukum atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.
ü  Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual beli, sewa menyewa yang disatu pihak mengurangi haknya dan dipihak lain menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukan dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesahanya tergantung kepada persetujuan yag diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
·         Ahliyyah al-ada’kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa. Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqih ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani; yaitu bagi wanita telah mulai haidh atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, yaitu sampai mencapai usia perkawinan atau umur yang pada wktu itu telah mungkin melangsungkan perkawinan.

E.     Taklif (Beban Hukum) Terhadap Orang Kafir
Sebagaiman telah dijelaskan bahwa syarat bagi subjek hukum itu adah baligh dan berakal. Selanjutnya dipermasalahkan apakah Islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum. Dengan kata lain apakah non muslim dengan kekafirannya itu dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini terdappat perbedaan pendapat dikalangan ulama’.
Pertama, ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i adalah: Imam Syafi’i, ulama yang bermadzhab Hanafi dan mayoritas dari kalangan ulama Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang-orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan juzu’ syariat seperti ibadah shalat, puasa dan haji. Artinya meskipun mereka tidak sah niatnya karena tidak beriman, namun mereka dituntut untuk melaksanakan ibadah itu sebagaimana berlaku terhadap mukallaf lainnya. Kelompok ulama ini mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
1.      Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan ibadat secara umum juga menjangkau orang-orang kafir, diantaranya seperti dalam surat al-Baqararah:21,surat al-imron:92.
2.      Orang kafir itu seandainya tidak dikenai taklif dengan hal-hal yang bersifat furu’ tentu tidak ada ancaman terhadap orang kafir bila ia tidak berbuat. Ayat yang mengancam orang kafir karena meninggalkan ibadat itu cukup banyak, seperti firman Allah dalam surat Fushilat :6-7, surat al-mudatsir:42
3.      Orang-orang kafir tidak dikenai taklif untuk meninggalkan larangan dengan sanksi sebagaimana berlaku terhadap orang mukmin, seperti berlaku atasnya sanksi zina, mencuri dan lainya. Hal ini disepakati oleh para ulama’. Bila dalam larangan mereka dikenai taklif untuk meninggalkanya, maka terhadap suruhanpun tentu begitu pula. Hal ini diqiyaskan kepada larangan karena sama-sama tuntutan untuk kemaslahatan
Kedua, pendapat dari sebagian ulama’Hanafiyah, Abu ishak al-Asfahani, sebagian kelompok syafi’iyah dan sebagian ulama’ Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang kafir itu tidak dibebani taklif untuk melaksanakan ibadat, karena bagi kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya syarat syar’I, sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat taklif itu. Kelompok ini mengemukakan argument sebagai berikut:
·      Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’ syariat, tentu melakukan perbuatan itu dituntut. Ternyata tidak demikian, karena kafirnya itu mencegah sahnya ibadat mereka.
·      Seandainya orang kafir diberi beban hukum, tentu wajib bagi mereka menqadha’ apa yang dia tinggalkan saat kafirnya itu, sesudah masuk islam. Ternyata yang demikian tidak betul, karena bila ia masuk islam maka segala kekurangan pada waktu yang lalu dihapuskan berdasarkan sabda Nabi yang artinya:
“Islam itu memotong segala suatu sebelumnya.”
Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan, karena untuk melakukan perbuatan yang disuruh diperlukan niat, sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak berbuat, tidak diperlukan niat.[11]


F.     Halangan Ahliyyah
Para  ulama’ushul fiqh sepakat menyatakatan bahwa penentuan cakap atau tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi mereka sepakat, bahwa sesuai dengan hukum biologis, akal seseorang bisa berubah, kurang dan hilang sama sekali, sehingga mengakibatkan mereka dianggap tidak cakap lagi dalam bertindak hukum, baik dalam tindakan hukum yang berkaitan dengan masalah tertentu maupun dalam bidang-bidang yang terbatas. Dalam hubungan ini, ulama’ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah yang disebabkan:
1). ‘awaridh al-samawiyyah  ( العوارض السما وي ), maksudnya halangan yang datangnya dari Allah, bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mard maut (sakit yang berlanjut dengan kematian) dan lupa.
2). ‘Awaridh al-muktasabah ( العوارض المكتسبة ), maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, tersalah, beradag dibawah pengamampunan dan bodoh.
Kedua bentuk halangan yang menyebabkan berubahnya kecakapan bertindak hukum seseorang itu sangat berpengaruh terhadap tindakan hukumnya. Menurut ulama’ushul fiqh, perubahan kecakapan bertindak hukum itu adakalanya bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau mengubahnya. Karenya, mereka membagi halangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objeknya kepada tiga bentuk:
1). Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada’)  hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa. Dalam keadaan seperti ini, kecakapan hukum seseorang hilang sama sekali, sehingga seluruh tindakan hukum mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dalam hal ini Rosulullah SAW bersabda:      
رُفِعَ أُمَّتِي عَنِ الْخَطَأِ وَالنِّسْيَا نِ وَمَا اسْتُكْرِ هُوْالَهُ
Diangkatnya (pembebanan hukum) dari umatku yang bersalah, terlupa dan terpaksa.
(H.R. Ibn Majah dan al-Thabrani)
2). Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti orang dungu. Apabila seseorang terkena penyakit dungu, maka ahliyyah al-ada’-nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapan bertindak hukumnya. Oleh sebab itu, dalam tindakan hukum yang sifatnya bermanfaat bagi dirinya dinyatakan sah, sedangkan tindakan hukum yang merugikan dirinya dianggap batal.
3). Halangan yang sifatnya dapat mengubah sebagian tindakan hukum seseorang, seperti orang yang berutang, pailit, dibawah pengampuan, orang yang lalai dan tolol. Sifat-sifat seperti ini sebenarnya tindak mengubah ahliyyah al-ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan hukumnya berubah. Misalnya, orang yang berada dibawah pengampuan , tindakan hukumnya dalam masalah harta dibatasi demi kemaslahatan dirinya dan hak-hak orang yang membayar utang. [12]
      
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Orang mukalaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya. Serta seluruh tindakan hukum mukalaf harus dipertanggungjawabkan.
Dasar dari taklif salah satunya sabda rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin abi thalib, yang artinya, “Diangkatlah pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.”Dan juga firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 43 dan surat Ibrahim ayat 4.



DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 1993. fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:Raja Prafindo Perasada.
Effendi, Satria. 2005.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Harun, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.
Khallaf,Abdul Wahhab. 2004.Ilmu Ushul Fiqh.Haramain: Linnasyri wa Tauzi’.
Koto, Alaiddin. 2006.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers.
Syafe’I, Rahmat.2007.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarifudin, Amir. 2004.Ushul FiqH. Jakarta Timur: Zikrul Hakim.
Syarifuddin, Amir.1997.Ushul Fiqh Jilid 1. Ciputat: PT Logos.



[1]Amir Syarifudin (selanjutnya disebut syarifudin), Ushul Fiqh, (Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004), h. 276.
[2] Nasrun Harun, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1996). h. 305.
[3] Satria Effendi,Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana. 2005) h.  75.
[4] Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006)h. 158.
[5]Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fiqh,(Haramain: Linnasyri wa Tauzi’, 2004) h. 134.
[6] Syarifudin,Op,Ci, h.278.                                                           
[7] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007) h.  339.
[8] Nasrun Harun,Ushul Fiqh, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1996) h. 310.
[9] Amir Syarifuddin (selanjutnya disebut Syarifuddin),Ushul Fiqh Jilid 1, (Ciputat: PT Logos, 1997) h. 358.
[10] Nazar Bakry,fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta:Raja Prafindo Perasada, 1993) h. 163.
[11] Syarifuddin,Op,Cit.h. 359.
[12] Nasrun  Harun, Ushul Fiqh I, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu), 311.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar