BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep bahwa Islam sebagai agama
wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga
tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu
Dalam proses
kehidupan manusia yang dimulai dari fase janin dan kanak-kanak, baligh, dan
proses sesudah dewasa, dimana pada fase janin, bayi dan kanak-kanak, manusia
memiliki hak-hak kemanusiaan yang sama dengan manusia dewasa. Misalnya hak
mendapatkan warisan.
Dan apabila janin tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup, maka berhak dihormati kehidupan dan kehormatannya. Apabila sudah sampai balig, yang merupakan batas mulai terkena taklif, maka disamping mempunyai hak, juga mempunyai kewajiban hidup, yang merupakan subyek hukum. Sementara anak kecil yang melakukan sholat, puasa dan perbuatan ibadah lainya, yang dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya, namun parbuatan ibadah tersebut sesungguhnya bukan kewajibanya. Karena anak tersebut belum sampai pada taklif, yakni batas dinilai melakukan kewajibanya.
Dan apabila janin tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup, maka berhak dihormati kehidupan dan kehormatannya. Apabila sudah sampai balig, yang merupakan batas mulai terkena taklif, maka disamping mempunyai hak, juga mempunyai kewajiban hidup, yang merupakan subyek hukum. Sementara anak kecil yang melakukan sholat, puasa dan perbuatan ibadah lainya, yang dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya, namun parbuatan ibadah tersebut sesungguhnya bukan kewajibanya. Karena anak tersebut belum sampai pada taklif, yakni batas dinilai melakukan kewajibanya.
Sehingga
sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah
satu metode Ushul Fiqh untuk meng-Istimbath
setiap permasalahan dalam kehidupan
ini.
B.
Rumusan Masalah
- Apakah pengertian Mahkum ‘Alaih?
- Apa dasar-dasar Taklif?
- Apa syarat-syarat Mahkum ‘Alaih?
- Apa deffinisi dan pembagian Ahliyyah?
- Apa Taklif (Badan Hukum) terhadap orang kafi?
C.
Tujuan
- Mengetahui definisi Mahkum ‘Alaih.
- Mengetahui dasar-dasar Taklif.
- Mengetahui syarat-syarat Mahkum ‘Alaih.
- Mengetahui definisi dan pembagian ‘Ahliyyah.
- Mengetahui Taklif (Badan Hukum) terhadap orang kafir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahkum ‘Alaih
Para ulama’ Ushul
Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih (المحكوم
عليه)
adalah mukalaf yang terkait perbuatanya
dengan hukum syara’.[1] Secara etimologi, Mukalaf
berarti yang dibebabani hukum. Dalam Ushul Fiqh, istilah Mukalaf disebut juga mahkum
‘alaih (subjek hukum).
Orang mukalaf adalah
orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukalaf
harus dipertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah SWT, maka ia
mendapat imbalan pahala dan kewajibanya terpenuhi, sedangkan apabila ia
mengerjakan larangan Allah SWT, maka dia pun juga akan mendapat resiko dosa dan kewajibanya belum
terpenuhi.
B. Dasar Taklif
Seorang manusia
belum dikenakan taklif (pembebanan
hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu para ulama’ Ushul Fiqh
mengemukakan, bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman.
Maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif yang
ditunjukan kepadanya. Dengan demikian orang yang tidak atau belum berakal,
seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif, karena mereka
tidak atau belum berakal. Sehingga, dengan demikian mereka dianggap tidak bisa
memahami taklif dari syara’.
Termasuk kedalam
hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang
tidur, mabuk dan lupa tidak dikenai taklif karena dia dalam keadaan
tidak sadar (hilang akal). Hal ini senada dengan sabda Rosulullah Saw:
رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ
ثَلَاثٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى
يَحْتَلِمَ وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
“Diangkatlah pembebanan hukum dari tiga (jenis
orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang
gila sampai ia sembuh.” (H.R. al- Bukhari, Abu
Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin abi
thalib).
Dalam hadis lain dikatakan:
رُفِعَ آُمَّتِي
عَنِ الْخَطَإِ وَالنًّسْيَا نِ وَمَا اسْتُكْرِ هُوْا لَهُ
Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa,
tersalah, dan dalam keadaan terpaksa. (H.R.
Ibn Majah dan al-Thabrani)[2]
Begitu juga dalam Firman
Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat: 43 sebagai
berikut
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى
تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (43)
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
masjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci) sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”(QS.
An-Nisa ayat: 43).
Dan
juga dalam QS. Ibrahim Ayat 4
وَمَا أَرْسَلْنَا
مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ
مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (4)
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.”
(QS. Ibrahim: 4)
C. Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih
Seseorang
bisa atau dianggap layak untuk dibebani hukum Taklif apabila telah ada beberapa syarat di dalam
dirinya, diantaranya:
1.
Mampu memahami dalil-dalil hukum, baik secara mandiri atau dengan
bantuan orang lain, minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari
ayat atau dari hadits Rasulullah. Adanya kemampuan memahami hukum Taklifi itu
disebabkan orang tersebut mempunyai akal yang sempurna.
Bilamana diukur dengan pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi
wanita dengan mulainya menstruasi dan bagi laki-laki mimpi pertama bersenggama.
Namun, jika pada umur lima belas tahun wanita tersebut tidak haid dan laki-laki
tidak mimpi, maka umur lima belas tahun itu dijadikan batas umur minimal baligh
berakal.[3]
Bagi hal diatas, anak-anak dan orang gila tidak dikenai Taklif karena mereka tidak punya alat untuk memahaimi
Taklif tersebut. Begitu juga
dengan orang yang lupa, tidur dan mabuk, karena dalam keadaan demikian mereka
tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada mereka.[4]
Oleh karena itu rasulullah SAW bersabda:
رفع القلم عن ثلاثة: عن النائم حتى يستيقظ,
وعن الصبي حتى يحتلم, وعن المجنون حتى يعقل.
“Diangkatlah pena itu (tidak
terkena tuntutan hukum) atas tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun,
anak kecil sampai ia baligh (dewasa) dan orang gila sampai dia berakal.”
من نام عن صلاة أنسيها فليصلها إذا ذكرها,
فإن ذلك وقتها.
“Barangsiapa tidur sampai tidak
melakukan shalat (habis waktunya) atau lupa mengerjakannya maka hendaklah dia
shalat ketika dia ingat, karena sesungguhnya ketika ingat itulah waktu
shalatnya.”
Sedangkan kewajiban zakat, nafkah dan jaminan atas
anak kecil dan orang gila bukan merupakan beban atas keduanya, akan tetati
beban si wali untuk melaksanakan kewajiban harta, sebagaimana membayar pajak
air dan harta milik keduanya.[5]
Dan
bagi orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan orang yang tidak bisa
memahami dalil-dalil syara’ baik dari al-Qur’an maupun dari as-Sunnah, seperti
bangsa-bangsa selain bangsa Arab, maka tidak sah menuntut mereka secara syara’
kecuali mereka belajar bahasa Arab ataupun mereka bisa memahami nash-nasnya,
atau jika dalil-dalil tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
2.
Mukallaf atau juga disebut dengan ahliyyah, yakni ahli dengan
sesuatu yang telah ditaklifkan atau
dibebankan padanya. Orang yang belum termasuk kelompok ahliyyah, maka ia belum
dapat dibebani dengan taklif dan semua tindakanya tidak dapat diminta
pertanggungjawaban.
D. Ahliyyah
1) Pengertian Ahliyyah
Secara bahasa
kata ahliyyah berarti kemampuan atau kecakapan. Misalnya, ungkapan yang
menyatakan seseorang ahli untuk melakukan suatu pekerjaan. Ungkapan ini
mengandung pengertian bahwa orang itu memiliki kemampuan dan kecakapan untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut.[6]
Para ahli ushul
fiqh mendefinisikan ahliyyah secara terminology sebagai berikut:
صِفَةٌ
يُقَدِّ رُهَا الشَّا رِعُ فىِ الشَّخْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلًّا صَا لِحًا لِخِطَا
بٍ تَشْرِيْعِيٍّ
Artinya: “suatu sifat yang dimiliki seseorang yang
dijadikan ukuran oleh syar’i untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai
tuntunan syara’.” (H.R. Bukhori)
Dari definisi
tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukan bahwa
seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya
dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap
telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat
menerima hak dari orang lain. Dengan demikian jual-belinya, hibbahnya, dan
lain-lain dianggap sah. Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung
jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.[7]
2) Pembagian Ahliyyah
Kemampuan atau
kecakapan untuk bertindak hukum dan dikenai taklif sejalan dengan
tahapan perkembangan jasmani dan akalnya. Sehubungan dengan ini, para ahli
ushul fiqh membagi ahliyyah menjadi 2, yaitu ahliyyah al-wujub dan ahliyyah
al-ada’.
a.
Ahliyah Wujub,
adalah kepantasan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban.
Dengan kata lain, kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain.
Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu sesama manusia laki-laki
perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun waras, sakit atau sehat
ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wujub. Ditinjau dari segi
ahliyatul-wujub, manusia itu terbagi kepada dua bagian, yaitu:
·
Ahliyyah al-wujub al-naqishah
Yaitu
ketika seorang masih berada dalam kandungan ibunya(janin). Janin dianggap
memiliki ahliyyah al-wujub yang belum sempurna, karena hak-hak yang
harus ia terima belum dapat menjadi miliknya sebelum ia lahir ke dunia dengan
selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia
terima menjadi miliknya.
Para
ulama’ushul fiqh menetapkan ada empat hak dari seorang janin yang masih dalam
kandungan ibunya, yaitu:
1. Hak keturunan
dari ayahnya
2. Hak warisan
dari ahli warisnya yang meninggal dunia, dalam kaitan ini bagian harta yang
harus dia terima diperkirakan dari jumlah terbesar yang akan ia terima, karena
jika ia seorang laki-laki maka bagianya lebih besar dari seorang wanita,
apabila ternyata janin itu wanita, maka kelebihan warisan yang disisakan itu
dikembalikan kepada ahli waris lain,
3. Wasiat yang
ditujukan kepadanya,
4. Harta waqaf
yang ditujukan kepadanya,
Para
ulama’ fiqh menetapkan bahwa wasiat dan waqaf merupakan transaksi sepihak,
dalam arti pihak yang menerima wasiat atau waqaf tidak harus menyatakan
persetujuanyauntuk sahnya akad tersebut. Apabila seseorang memberi wasiat atau
mewaqafkan hartanya kepada orang lain, maka penerima wasiat dan wakqaf ini
tidak perlu menyatakan penerimaanya. Oleh sebab itu, wasiat atau waqaf yang
diperuntukan kepada janin, secara otomatis wasiat atau waqaf tersebut menjadi
milik janin.[8]
·
Ahliyyah al-wujub al-kamilah
Yaitu
kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak. Adanya
sifat sempurna dalam bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya
sekaligus. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia
masih bernafas.
Contoh
ahliyyah al-wujub al-kamilah adalah anak yang baru lahir, disamping ia
berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya, ia juga
telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta, menurut sebagian
pendapat ulama’yang pelaksanaanya dilakukan oleh orang tua atau walinya.
Demikian
pula orang yang sedang sekarat, disamping ia berhak menerima harta warisan dari
orang tua atau kerabatnya yang lebih dulu meninggal, ia juga dibebani kewajiban
zakat atas hartanya yang telah memenuhi syarat untuk dizakatkan.[9]
b.
Ahliyah al-Ada’
adalah kepantasan seorang untuk diperhitungkan
oleh syara’, ucapan dan perbuatannya ucapan dan perbuatannya dengan pengertian
apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara’ menilai
bahwakewajibannya telah tunai dan gugur dari padanya tuntutan itu. Sebagai
dasar untuk menentukan ahliyah ada’ adalah tamyiz. Oleh karena itu manusia yang
tergolong pada ahliyah ada’ hanyalah manusia yang mumayiz saja.[10]
Kecakapan
berbuat hukum atau ahliyyah al-ada’terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat
ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah:
·
‘adim al-ahliyyahatau
tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur
tamyiz sekitar umur 7 tahun. Perbuatan anak-anak dalam umur ini tidak dikenai
hukum, ucapanya pun tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang
dilakukanya dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.
·
Ahliyyah al-ada’naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah
mencapai umur tamyiz(kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Penamaan naqishah(lemah)
dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan
taklif berlaku pada akal yang sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam
hubunganya dengan hukum, sebagian tindakanya telah dikenai hukum dan sebagian
lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau
perbuatanya terbagi kepada 3 tingkat, dan setiap tingkat mempunyai akibat hukum
tersendiri, yaitu:
ü
Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya; umpamanya
menerima pemberian(hibah) dan wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik
dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan
persetujuan dari walinya.
ü
Tindakan yang semata-mata merugikanya atau mengurangi hak-hak yang
ada padanya; umpamanya pemberian yang dilakukanya, baik dalam bentuk hibah atau
shadaqah, pembebasan hutang, jual beli dengan harga yang tidak pantas. Segala
tindakanya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh
mumayyiz dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat hukum atau batal yang
tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.
ü
Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual
beli, sewa menyewa yang disatu pihak mengurangi haknya dan dipihak lain
menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukan dalam bentuk ini tidak
batal secara mutlak tetapi dalam kesahanya tergantung kepada persetujuan yag
diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
·
Ahliyyah al-ada’kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah
mencapai usia dewasa. Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqih ditentukan dengan tanda-tanda yang
bersifat jasmani; yaitu bagi wanita telah mulai haidh atau mens dan para
laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini
didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, yaitu sampai mencapai usia perkawinan atau
umur yang pada wktu itu telah mungkin melangsungkan perkawinan.
E. Taklif (Beban
Hukum) Terhadap Orang Kafir
Sebagaiman telah dijelaskan bahwa syarat bagi subjek
hukum itu adah baligh dan berakal. Selanjutnya dipermasalahkan apakah Islam
merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum. Dengan kata lain apakah non muslim
dengan kekafirannya itu dituntut untuk melakukan beban hukum atau
tidak. Dalam hal ini terdappat perbedaan pendapat dikalangan ulama’.
Pertama, ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara
persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i adalah: Imam Syafi’i, ulama
yang bermadzhab Hanafi dan mayoritas dari kalangan ulama Mu’tazilah. Mereka
berpendapat bahwa orang-orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan
juzu’ syariat seperti ibadah shalat, puasa dan haji. Artinya meskipun mereka
tidak sah niatnya karena tidak beriman, namun mereka dituntut untuk
melaksanakan ibadah itu sebagaimana berlaku terhadap mukallaf lainnya. Kelompok
ulama ini mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
1.
Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan
ibadat secara umum juga menjangkau orang-orang kafir, diantaranya seperti dalam
surat al-Baqararah:21,surat
al-imron:92.
2.
Orang kafir itu seandainya tidak dikenai taklif dengan hal-hal yang
bersifat furu’ tentu tidak ada ancaman terhadap orang kafir bila ia tidak
berbuat. Ayat yang mengancam orang kafir karena meninggalkan ibadat itu cukup
banyak, seperti firman Allah dalam surat Fushilat :6-7, surat al-mudatsir:42
3.
Orang-orang kafir tidak dikenai taklif untuk meninggalkan larangan
dengan sanksi sebagaimana berlaku terhadap orang mukmin, seperti berlaku
atasnya sanksi zina, mencuri dan lainya. Hal ini disepakati oleh para ulama’.
Bila dalam larangan mereka dikenai taklif untuk meninggalkanya, maka terhadap
suruhanpun tentu begitu pula. Hal ini diqiyaskan kepada larangan karena
sama-sama tuntutan untuk kemaslahatan
Kedua, pendapat dari sebagian ulama’Hanafiyah, Abu ishak al-Asfahani, sebagian
kelompok syafi’iyah dan sebagian ulama’ Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa
orang kafir itu tidak dibebani taklif untuk melaksanakan ibadat, karena bagi
kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya syarat syar’I,
sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat taklif itu. Kelompok ini mengemukakan argument sebagai berikut:
·
Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’ syariat,
tentu melakukan perbuatan itu dituntut. Ternyata tidak demikian, karena kafirnya
itu mencegah sahnya ibadat mereka.
·
Seandainya orang kafir diberi beban hukum, tentu wajib bagi mereka
menqadha’ apa yang dia tinggalkan saat kafirnya itu, sesudah masuk islam.
Ternyata yang demikian tidak betul, karena bila ia masuk islam maka segala kekurangan
pada waktu yang lalu dihapuskan berdasarkan sabda Nabi yang artinya:
“Islam itu memotong segala suatu sebelumnya.”
Ketiga, kelompok
ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan
larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan, karena untuk
melakukan perbuatan yang disuruh diperlukan niat, sedangkan untuk meninggalkan
larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak berbuat, tidak
diperlukan niat.[11]
F.
Halangan Ahliyyah
Para ulama’ushul fiqh sepakat menyatakatan bahwa
penentuan cakap atau tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi
akalnya. Akan tetapi mereka sepakat, bahwa sesuai dengan hukum biologis, akal
seseorang bisa berubah, kurang dan hilang sama sekali, sehingga mengakibatkan
mereka dianggap tidak cakap lagi dalam bertindak hukum, baik dalam tindakan
hukum yang berkaitan dengan masalah tertentu maupun dalam bidang-bidang yang
terbatas. Dalam hubungan ini, ulama’ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan
bertindak hukum seseorang bisa berubah yang disebabkan:
1). ‘awaridh
al-samawiyyah (
العوارض السما
وي ), maksudnya halangan yang datangnya dari Allah, bukan
disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mard maut (sakit
yang berlanjut dengan kematian) dan lupa.
2).
‘Awaridh al-muktasabah ( العوارض المكتسبة ), maksudnya halangan yang disebabkan
perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, tersalah, beradag dibawah
pengamampunan dan bodoh.
Kedua
bentuk halangan yang menyebabkan berubahnya kecakapan bertindak hukum seseorang
itu sangat berpengaruh terhadap tindakan hukumnya. Menurut ulama’ushul fiqh,
perubahan kecakapan bertindak hukum itu adakalanya bersifat menghilangkan sama
sekali, mengurangi atau mengubahnya. Karenya, mereka membagi halangan bertindak
hukum itu dilihat dari segi objeknya kepada tiga bentuk:
1).
Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara
sempurna (ahliyyah al-ada’) hilang
sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa. Dalam keadaan seperti
ini, kecakapan hukum seseorang hilang sama sekali, sehingga seluruh tindakan
hukum mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dalam hal ini Rosulullah SAW
bersabda:
رُفِعَ أُمَّتِي عَنِ الْخَطَأِ وَالنِّسْيَا نِ وَمَا اسْتُكْرِ
هُوْالَهُ
Diangkatnya (pembebanan hukum) dari umatku yang bersalah, terlupa dan
terpaksa.
(H.R. Ibn Majah dan al-Thabrani)
2).
Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti orang dungu.
Apabila seseorang terkena penyakit dungu, maka ahliyyah al-ada’-nya
tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapan bertindak
hukumnya. Oleh sebab itu, dalam tindakan hukum yang sifatnya bermanfaat bagi
dirinya dinyatakan sah, sedangkan tindakan hukum yang merugikan dirinya
dianggap batal.
3). Halangan
yang sifatnya dapat mengubah sebagian tindakan hukum seseorang, seperti orang
yang berutang, pailit, dibawah pengampuan, orang yang lalai dan tolol.
Sifat-sifat seperti ini sebenarnya tindak mengubah ahliyyah al-ada’ seseorang,
tetapi beberapa tindakan hukumnya berubah. Misalnya, orang yang berada dibawah
pengampuan , tindakan hukumnya dalam masalah harta dibatasi demi kemaslahatan
dirinya dan hak-hak orang yang membayar utang. [12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Orang mukalaf
adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan
dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya. Serta seluruh tindakan
hukum mukalaf harus dipertanggungjawabkan.
Dasar dari
taklif salah satunya sabda rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu
Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin abi
thalib, yang artinya, “Diangkatlah
pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak
kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.”Dan
juga firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 43 dan surat Ibrahim ayat 4.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar.
1993. fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:Raja Prafindo Perasada.
Effendi, Satria. 2005.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Harun, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Ciputat: PT Logos Wacana
Ilmu.
Khallaf,Abdul Wahhab. 2004.Ilmu Ushul Fiqh.Haramain:
Linnasyri wa Tauzi’.
Koto, Alaiddin.
2006.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers.
Syafe’I,
Rahmat.2007.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarifudin,
Amir. 2004.Ushul FiqH. Jakarta Timur: Zikrul Hakim.
Syarifuddin, Amir.1997.Ushul Fiqh Jilid 1. Ciputat: PT
Logos.
[1]Amir Syarifudin (selanjutnya disebut syarifudin), Ushul Fiqh, (Jakarta
Timur: Zikrul Hakim, 2004), h. 276.
[2] Nasrun Harun, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1996). h.
305.
[3] Satria Effendi,Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana. 2005) h. 75.
[4] Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2006)h. 158.
[5]Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fiqh,(Haramain: Linnasyri wa Tauzi’,
2004) h. 134.
[6] Syarifudin,Op,Ci, h.278.
[7] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007)
h. 339.
[8] Nasrun Harun,Ushul Fiqh, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1996) h.
310.
[9] Amir Syarifuddin (selanjutnya disebut Syarifuddin),Ushul Fiqh Jilid
1, (Ciputat: PT Logos, 1997) h. 358.
[10] Nazar Bakry,fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta:Raja Prafindo Perasada,
1993) h. 163.
[11] Syarifuddin,Op,Cit.h. 359.
[12] Nasrun Harun, Ushul Fiqh
I, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu), 311.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar