BAB I
P E N D A H U L U A N
P E N D A H U L U A N
A. Latarbelakang
Akad nikah dalam Islam tidak untuk
jangka waktu tertentu, tetapi untuk selama hayat dikandung badan. Baik suami
maupun isteri, harus berusaha memelihara rumah tangga yang tenang penuh
kedamaian lahir batin serta menciptakan taman yang permai, tempat tubuhnya
generasi yang berbudi penerus dari orang tuanya. Karena itu, hubungan suami
isteri itu sangat suci dan terhormat, kuat ikatannya, dan tinggi nilainya
sesuai dengan tinggi nilai manusia itu sendiri.
Hubungan antarmanusia, apalagi dalam kehidupan rumah tangga, tidak semudah apa yang dibayangkan, ia bukan angka-angka yang dapat dihitung atau diperidiksi. Membangun rumah tangga bukan seperti membangun rumah. Perbedaan pendapat bahkan percekcokan pasti ada dan terjadi.
Hubungan antarmanusia, apalagi dalam kehidupan rumah tangga, tidak semudah apa yang dibayangkan, ia bukan angka-angka yang dapat dihitung atau diperidiksi. Membangun rumah tangga bukan seperti membangun rumah. Perbedaan pendapat bahkan percekcokan pasti ada dan terjadi.
Islam telah banyak mengatur
perihal berbagai lini kehidupan umat manusia, sehingga tidak salah disebut
sebagai agama yang komprehensif dengan ajarannya yang bersifat sholihun fii
kulli makan wa zaman. Termasuk juga didalamnya mengatur tentang bagaimana
menangani setiap permasalahan dalam suatu keluarga.
Hukum keluarga Islam sebagai
tawaran dalam menyelesaikan beberapa permasalahan, pada hakikatnya bukan
dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berrumah
tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif,
artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan
keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum
dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga akan berakibat hukum Islam
dianggap tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga
Islam
Oleh karena itu, dalam makalah ini
kami akan mengupas lebih dalam terkait hikmah yang terkandung dibalik hukum
keluarga Islam yang telah diatur berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga
para pembaca dapat memahami hikmah-hikmah tersebut, dan kemudian dapat
berhujjah atas hukum Islam sebagai solusi yang tepat dalam menyelesaikan
permasalahn kelurga, tidak hanya keluarga Islam saja, tetapi bagi umat manusia.
B. Rumusan Masalah
Konsep hukum keluarga Islam yang
menjadi fokus pembahasan kami dalam makalah ini terdapat empat pembahasan,
yaitu :
1.
Zhihar,
ila’, dan li’an
2.
Nafaqah
bagi wanita beriddah
3.
Keharaman
menikahi wanita yang masih dalam golongan mahrom
4.
Nafaqah
dari mantan suami terhadap anaknya
Berdasarkan beberapa fokus
pembahasan ini, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana
konsep ke-fiqih-an hukum keluarga Islam terkait beberpa point pembahasan
diatas, baik dasar hukum maupun pelaksanaannya ?
2.
Apa
saja yang menjadi hikmah dibalik pensyariatan hukum keluarga Islam tersebut,
jika dilihat dari kacamata normatif maupun analisa sosiologis ?
C. Tujuan
Berdasarkan pembahasan diatas,
maka oleh penulis yang menjadi tujuan utama pembahasan makalah ini yaitu memahami
secara lebih mendalam hikmah-hikmah yang ada dibalik hukum keluarga Islam yang
telah disyari’atkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak hanya hikmah normatif
saja, akan tetapi juga menganalisa hikmah sosiologis yang dapat dirasakan,
setelah memahami secara lebih mendalam konsep ke-fiqih-annya berdasarkan
al-Qur’an dan as-Sunnah.
BAB II
P E M A H A S A N
P E M A H A S A N
A.
Zhihar
Zhihar menurut
bahasa arab terambil dari kata zhahrun yang bermakna punggung. Dalam kaitanya
dengan hubungan suami istri, zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang
berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan
suami kepada istrinya: “engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”
Ucapan zhihar
dimasa jahiliyah dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan
menyetubuhi istri dan berakibat menjadi haramnya istri itu bagi suami dan
laki-laki selainya, untuk selama-lamanya.
Syari’at islam
datang untuk memperbaiki masyarakat, mendidiknya dan mensterilkanya menuju
kemaslahatan hidup. Hukum islam menjadikan ucapan zhihar itu berakibat hukum
yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat hukum zhihar yang bersifat duniawi
ialah menjadi haramnya suami menggauli istrinya yang dizhihar sampai suami
melaksanakan kafarat zhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulang
perkataan dan sikapnya yang buruk itu. Sedangkan yang bersifat ukhrawi ialah
bahwa zhihar itu perbuatan dosa, orang yang mengucapkanya berarti berbuat dosa,
dan untuk membersihkanya wajib bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah.
Sebagai dasar
hukum adanya pengaturan zhihar ialah firman Allah surat al-Mujadalah ayat 2-3:
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ
مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا
اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا
وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
“Orang-orang
yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya,
padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun”
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang menzihar
istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan,
maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu
bercampur. Demikianlah
yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ
سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan
sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang
kafir ada siksa yang menghinakan”.[1]
B. Li’an
Li’an menurut pengertian bahasa adalah berarti laknat (jauh) atau melaknat.
Sedangkan menurut istilah hukum islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh
suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa
ia termasuk orang yang benar dalam tuduhanya, kemudian pada sumpah kesaksian
kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta
dalam tuduhanya itu.
Dalam
Q.S.an-Nur:6-9 dijelaskan kapan dan bagaimana cara li’an, yaitu sebagai berikut:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (٦)
“dan orang-orang yang menuduh istrinya
(berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”.
وَالْخَامِسَةُ أَنَّ
لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (٧)
“dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah
atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta”.
وَيَدْرَأُ عَنْهَا
الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ
الْكَاذِبِينَ (٨)
“istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah ssungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta”.
وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ
الصَّادِقِينَ (٩)
“dan (sumpah) yang kelima:bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar”
Dalam KHI
dijelaskan dan ditetapkan sebab akibat dari li’an, yaitu putus perkawinan untuk
selamanya (pasal 125); kapan dan kenapa li’an dilakukan (pasal 126); tata cara
li’an (pasal 127) dan keabsahan li’an;bila dilakukan dihadapan sidang
pengadilan agama (pasal 128).
C.
‘Ila
Adapun ‘ila’
menurut bahasa berarti bersumpah dengan mutlak, sedangkan menurut istilah hukum
islam ialah sumpah suami dengan menyebut nama Allah sifat-Nya untuk tidak lagi
mendekati(menggauli/hubungan seksual) istrinya dengan mutlak, tanpa batasan
waktu.
Beberapa contoh
‘ila’ adalah ucapan suami kepada istrinya sebagai berikut:
1.
Demi Allah saya tidak akan menggauli istriku
2.
Demi kekuasaan Allah saya tidak akan mencampuri istriku
selama lima bulan
3.
Demi Allah saya tidak akan menggauli istriku selamanya
Tapi jika dibatasi
dengan waktu yang kurang dari empat bulan sampai maksimal empat bulan, maka
tidak dihukumi ‘ila’. Namun juga tetap dihukumi ‘ila’ jika suami bersumpah
dengan tidak menyebut nama Allah atau sifatnya Allah, namun ia (suami)
menggantungkan hubungan seksualnya dengan talak, zhihar, atau nazar, seperti,”jika
saya menggauli istri saya;maka jatuhlaj talak saya, saya men-zhiharnya atau
wajib bagi saya haji, puasa”dan lain-lain.
Suami yang
meng’ila’ istrinya tergolong perbuatan dosa, namun ia harus menentukan antara
dua pilihan (dengan perintah hakim), yaitu antara fi’ah (melanggar
sumpah dengan tetap menggauli istrinya) dan membayar kafarat (sama dengan
kafarat zhihar diatas) atau mentalak istrinya (talak satu). Namun penentuan
pilihan suami ini dilakukan setelah sang istri menunggu selama empat bulan,
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah:226-227:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ
أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٢٢٦) وَإِنْ عَزَمُوا
الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٢٧)
Artinya:
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat
bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam
(bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”.
D. Hak Nafaqah bagi Wanita Beriddah
Iddah dalam pengertian bahasa
(Arab) diambil dari kata “al-add” yang berarti hitungan atau bilangan,
misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu per satu dan jumlah
keseluruhan[2], seperti dalam Firman Allah
:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ
عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً
Artinya :
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan“(QS. at-Taubah : 36)
Sedangkan menurut pengertian
terminologis, iddah adalah masa tunggu yang ditentukan oleh syari’at bagi
wanita setelah berpisah dari suami yang mengharuskan untuk menunggu tanpa
melakukan perkawinan hingga masa tersebut berakhir.[3]
Dalam istilah fuqaha iddah adalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi
suami lain.
Iddah hukumnya wajib bagi isteri
yang tertalak/ditinggal mati suaminya. Hal ini didasarkan pada Firman Allah
sebagai berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Artinya :
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'” (QS. al-Baqarah : 228)
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً
Artinya :
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari” (QS. al-Baqarah : 234)
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ
أَمْرِهِ يُسْراً
Artinya :
“Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (QS. ath-Thalaq : 4)
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa iddah hukumnya wajib bagi wanita yang tertalak/ditinggal mati
oleh suaminya, sehingga ketentuan ini hanya diperuntukkan bagi wanita tersebut.
Dalam Firman Allah disebutkan bahwa :
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن
تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا
حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا
وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن
بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ
حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya :
“Talak (yang
dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya . Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
zalim. Kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) mengetahui.”. (QS. al-Baqarah : 229-230)
Ayat diatas merupakan dasar dari
talak. Talak dal Islam dibagi menjadi dua, yaitu :
1.
Talak
Raj’I yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali
isterinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu, dan isteri
benar-benar sudah digauli. Yang termasuk dalam talak ini adalah[4]
:
a)
Talak
satu atau dua tanpa iwadh dan telah melakukan hubungan suami-isteri,
diantaranya :
-
talak
mati, tidak hamil
-
talak
hidup dan hamil
-
talak
mati dan hamil
-
talak
hidup dan tidak hamil
-
talak
hidup dan belum haid
2.
Talak
Ba’in yaitu talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami-isteri. Talak
Ba’in terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
a)
Talak
ba’in shugra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya,
tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada isteri bekas isterinya itu.
Yang termasuk dalam talak bain shugro ini adalah talak yang dijatuhkan suami
kepada isteri yang belum terjadi dukhul dan khulu.
b)
Talak
ba’in kubro, ialah talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada bekas
isteri, walaupun kedua bekas suami-isteri tersebut ingin melakukannya, baik di
waktu iddah atau sesudahnya.
Wanita yang beriddah, dalam masa
iddah talak raj’i atau hamil berhak mendapatkan nafkah, karena Allah SWT
berfirman :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ
حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ
Artinya :
“Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu”
(QS. at-Thalaq : 6)
وَإِن
كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya :
“Dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”
(QS. at-Thalaq : 6)
Dua ayat diatas menunjukkan bahwa
wanita hamil berhak mendapat nafkah, baik dalam talak raj’I atau ba’in. Adapun
talak ba’in, para ahli fikih berbeda pendapat tentang hak nafkahnya. Jika dalam
keadaan hamil, maka terdapat tiga pendapat[5].
Pendapat pertama, ia berhak mendapatkan rumah, tetapi tidak berhak
mendapatkan nafkah. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’I, yang
berhujjah dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat at-Thalaq ayat 6 diatas.
Penapat kedua, dikemukakan oleh Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz
dan golongan Hanafi, mereka mengatakan bahwa isteri berhak mendapatkan nafkah
dan rumah. Mereka juga berhujjah dengan ayat yang sama.
Ayat tersebut menunjukkan wajibnya
memeberikan tempat tinggal. Jika memberikan tempat tinggal itu hukumnya wajib,
maka dengan sendirinya juga wajib memeberi nafkah, seperti makanan, pakaian,
dan lainnya. Firman Allah SWT :
فَطَلِّقُوهُنَّ
لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا
تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ
اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ
ذَلِكَ أَمْراً
Artinya :
“Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke
luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang . Itulah hukum-hukum
Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu
tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (QS. ath-Thalaq : 1)
Dalam hal ini, tidak dapat
diterapkan apabila sudah talak tiga. Pendapat ketiga, isteri tidak
berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Ini dikemukakan oleh Ahmad, Abu
Dawud, Abu Saur dan Ishaq.
Dalam sebuah riwayat dari Ali,
Ibnu Abbas, al-Hasan, ‘Atha’, Sya’bi Abu Abi Laila, dan Syiah Imamiah, mereka
mengemukakan alasan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari
Fatimah binti Qais, ia berkata, “Suamiku telah menceraikan aku tiga kali pada
masa Rasulullah SAW, ia tidak memeberikan nafkah kepadaku atau tempat tinggal”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, Rasulullah SAW bersabda, tempat tinggal
dan nafkah hanyalah hak bagi perempuan yang suaminya ada hak rujuk. Rasulullah
SAW bersabda.
اَنَّهُ قَالَ لَهَا
رَسُوْلُ الله ص.م. لاَنَفَقَةَ لَكَ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنِى حَامِلَةً (روه
احمدومسلم و ابوداود و النسائى)
Artinya :
”Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda kepada Fatimah, “Tidak ada nafkah bagimu kecuali kamu
hamil” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i)
Di saat hukum syariat mewajibkan
wanita untuk menjalani masa iddahnya, maka pada saat itulah hukum syari’at pun
mewajibkan mantan suami yang menceraikannya untuk bisa menafkahinya, kerena
sesungguhnya suamilah yang menjadi penyebab diceraikannya wanita tersebut.
Dengan iddahlah seorang wanita menjadi masih terikat dengan ikatan
pernikahannya hingga ia bisa meneylesaikan masanya. Terkadang pula, tidak
jarang wanita yang diceraikan tidak memiliki keluarga dan juga miskin.[6]
E. Larangan Menikah Golongan Wanita
Mahram
Mahram berarti yang terlarang atau
sesuatu yang terlarang.Maksudnya ialah wanita yang tidak boleh
dinikahi.Pengertian mahram menurut Imam Ibnu Qudamah adalah: “Semua orang yang
haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab (keturunan) persusuan
dan pernikahan.” Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa mahram mencakup tiga
macam, karena sebab keturunan, persususan dan pernikahan.
Pada garis besarnya wanita yang
tidak boleh dinikahi itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu terlarang sementara
(mahram muaqqat)[7] dan terlarang
selama-lamanya (mahram muabbad).
Yang termasuk didalam mahrammuaqqat ialah :
1. Karena mengumpulkan dua orang wanita
yang ada hubungan mahram. Dasar hukumnya
ialah firman Allah QS. An-Nisa’: 23
وَأَن
تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ
غَفُوراً رَّحِيماً
Artinya :
“dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”
2. Istri orang lain dan wanita yang masih
dalam masa iddah. Dasar hukumnya ialah
firman Allah QS. An-Nisa’: 24
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ
Artinya :
“dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu”
3.
Wanita-wanita
musyrik hingga masuk islam. Dasar
hukumnya ialah firman Allah QS. al-Baqarah : 221
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ
خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Artinya :
Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.(al-
Baqarah:221)
4.
Karena
telah dicerai tiga kali, karena itu daharamkan bagi orang yang menceraikannya
untuk langsung dinikahi.
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً
غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا
أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
Artinya :
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah
Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui. (al-Baqarah:230)
5.
Menikah
dengan wanita kelima bagi yang telah berpoligami dengan empat istri.[8]
وَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء
مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
Artinya :
“ Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat.” (an-Nisa:3)
Yang termasuk dalam Tahrim muabbad yaitu Wanita yang terlarang untuk mengawininya
selama-lamanya ialah disebabkan oleh :
1.
Karena keturunan nasab
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم
بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ
الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
Artinya :
“Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (an-Nisa’: 23)
Wanita yang terlarang memurut ayat
diatas ialah:
a.
Ibu-ibu,maksudnya
ialah ibu, ibu dari ibu, ibu dari ayah dan seterusnya keatas.
b. Anak perempuan, maksudnya ialah
anak-anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya kebawah.
c. Saudara perempuan, maksudnya ialah
saudara perempuan sekandung, seayah, dan seibu.
d. Saudara ayah yang perempuan: termasuk
juga didalamnya saudara kakek yang perempuan.
e. Daudara ibu yang perempuan: termasuk
juga didalamnya saudara nenek yang perempuan.
f. Anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki, maksudnya saudara laki-laki sekandung, seayah, dan seibu.
g. Anak perempuan dari saudara perempuan,
maksudnya ialah saudara perempuan sekandung, seyah atau seibu.
2. Karena
mengawini seorang wanita (mushaharah).
a. Bekas istri ayah, dasarnya adalah firman
Allah QS. an-Nisa’:22
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ
آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَمَقْتاً وَسَاء سَبِيلاً
Artinya
:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita
yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan
(yang ditempuh).”
b. Bekas istri dari anak, termasuk
dadalamnya bekas istri cucu laki-laki dan seterusnya kebawah. Dasarnya adalah firman Allah QS.
an-Nisa’:23
Artinya :
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
“ (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu)”
c. Anak tiri ialah anak dari istri yang
telah dicampuri. Apabila istri itu belum dicampuri, maka anak tiri tersebut
halal dinikahi. Termasuk juga didalamnya anank-anak perempuan dari anak tiri
dan seterusnya. Dasarnya adalah firman Allah QS. an-Nisa’:23
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي
حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ
Artinya
:
“Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya”
d.
Karena sepersusuan.
Dasar hukumnya
adalah firman Allah QS. An-Nisa’: 23
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ
وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم
مِّنَ الرَّضَاعَةِ
Artinya :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
Hadits
Rasulullah Saw menerangkan bahwa haram karena susuan seperti haram karena
keturunan. Diterangkan bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah diminta unuk mengawini
anak perempuan pamannya Hamzah, beliau bersabda:
انما لاتحل لي انها ابنة اخي من الرضاعة و يحرم من
الرضاعة ما يحرم من النسب.
“Bahwasannya ia
(anak perempuan pamanku) ia tidak halal bagiku, bahwasannya ia adlah saudaraku
sepesusuan itu adalah (sama denngan) haram dari keturunan.”
Berdasarkan
ayat dan hadits, maka yang termasuk mahram karena persusuan itu ialah:
1)
Ibu
yang menyusukan,termasuk didalamnya ibu dari ibu yanh menyusukan,ibu dari suami
ibu yang menyusukan dan seterusnya keatas.
2)
Anak-anak
perempuan dari ibu yang menyusukan.
3)
Anak-anak
perempuan dari suami ibu yanh menyusukan.
4)
Saudara-saudara
perempuan sesusuan.
5)
Anak-anak
dari saudara laki-laki sesusuan. Termasuk didalamnya anak-anak perempuan dari
anak-anak laki-laki ibu dan suami sesusuan.
6)
Anak-anak
dari saudara perempuan sesusuan. Termasuk didalamnya anak-anak perempuan dari
anak-anak perempuan dari ibu susuan dan suami ibu susuan.
7)
Saudara-saudara
perempuan dari ibu yang menyusukan.
8)
Saudara-saudara
perempuan dari suami ibu yang menyusukan.
F. Wajib Nafaqah bagi Mantan Suami
kepada Anak dan Sanksi Hukumnya
Seorang suami wajib memenuhi
seluruh kebutuhan istri dan anaknya yang berupa makanan-minuman, pakaian dan
tempat tinggal. Kewajiban suami tersebut harus dilakukan olehnya tanpa harus
diminta oleh istri maupun anak-anaknya, artinya secara otomatis harus dilakukan
selama dia berstatus suami sekaligus bapak dari anak-anaknya. Jika ternyata
suami tidak melaksanakan kewajibannya dengan sempurna sehingga istri dan
anak-anaknya mengalami kekurangan bahkan hampir terlantar, maka si suami jelas
telah berdosa karena dia melalaikan kewajibannya. Dalam keadaan demikian, Islam
membolehkan si istri untuk mengambil harta suaminya walau tanpa sepengetahuan
suami sedemikian rupa sehingga dengan harta itu dapat memenuhi kebutuhan pokok
bagi dirinya dan anak-anaknya. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan
Rasulullah saw dalam hadits berikut:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ هِنْدٌ أُمُّ مُعَاوِيَةَ لِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ
فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ سِرًّا قَالَ خُذِي أَنْتِ
وَبَنُوكِ مَا يَكْفِيكِ بِالْمَعْرُوفِ (رواه البخاري(
Artinya :
“Dari ‘Aisyah
ra telah berkata Hindun ibunya Mu’awiyah kepada Rasulullah saw: sungguh Abu
Sufyan itu adalah laki-laki yang pelit (bakhil), lalu apakah tidak dosa bagi
saya mengambil dari harta dia secara diam-diam? Beliau menjawab: ambillah
olehmu dan anakmu sejumlah harta yang akan mencukupi kebutuhanmu dengan
sempurna” (HR Bukhari)
Ketika terjadi perceraian, maka
mantan suami wajib menafkahi mantan istrinya juga wajib memberikan tempat
tinggal kepadanya selama masa iddah yakni tiga bulan, jika mantan istrinya
tidak sedang hamil. Jika mantan istrinya tengah hamil maka kewajiban sang
mantan suami tersebut untuk memberikan nafkah adalah bertambah lama yakni
selama mantan istrinya hamil hingga melahirkan. Inilah yang dipastikan oleh
pernyataan Allah SWT :
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ
أَمْرِهِ يُسْرًا )الطلاق : ٤(
Artinya :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.” (QS ath-Thalaaq [65]: 4)
Ketika anak berada dengan salah
satu orangtuanya maka orangtua lainnya hendaklah tetap bertanggungjawab
mendidik, mengasuh dan untuk seorang ayah tetap berkewajiban menafkahi sang
anak dan memberi mereka kasih sayang karena ini adalah hak mereka, hal ini
telah disebutkan didalam al-Qura’n surat at-Tholaq:
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ
أُخْرَى (الطلاق :٦(
Artinya :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS ath-Thalaaq [65]: 6)
Selain itu didalam undang-undang juga mengatur
tentang kewajiban sorang ayah yang telah menjadi mantan istrinya untuk
menafkahi anaknya yang di asuh oleh ibu si anak (mantan istri). Pasal 41 UU
Perkawinan menentukan bahwa akibat putusnya perkawinan suami tetap memiliki
kewajiban memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Ketentuan ini juga dipertegas
oleh pasal 105 (c) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa bila terjadi
perceraian maka biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Namun demikian
pasal 41 (b) UU Perkawinan juga menyatakan bahwa bila Bapak dalam kenyataanya
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut. Prinsip ini diperkuat oleh Keputusan Presiden
nomor 36 tahun 1990 tentang ratifikasi Konvensi Hak Anak pasal 18 ayat 1 serta
UU nomor 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan pasal 16 (d) yang pada pokoknya menyatakan
dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak menjadi tanggungjawab
bersama kedua orang tua.
BAB III
H I K M A H
H I K M A H
A.
Hikmah
Normatif
Hikmah dan filsafat keharaman zhihar dan kaffaratnya antara lain sebagai
berikut:
1.
Suami adalah manusia biasa yang memungkinkan untuk salah dan lepas kontrol
(kebablasan), sehingga ia menyesal atas ucapan zhihar pada istrinya. Maka
syari’at memberi jalan keluar dengan mewajibkan kafarat agar ia bisa kembali
menggauli istrinya.
2.
Kafarat yang ditetapkan syari’at sebagai bentuk hukuman,
baik hukuman berupa tebusan uang, yaitu memerdekakan budak dan memberi makan 60
fakir miskin atau hukuman berupa badan, yaitu berpuasa selama dua bulan
berturut-turut.[9]
Hikmah yang
dimaksud dari semua itu adalah untuk mengingatkan dan mendidik agar jangan
melakukan zhihar lagi. Disamping itu, untuk menentang kebiasaan kaum jahiliyah
yang mereka itu menzhihar istri-istri mereka secara terus-menerus. Islam datang
dengan membawa rahmat dan kasih sayang, maka pikirkanlah betapa hikmat Allah yang
Maha Tinggi. [10]
Sedangkan hikmah dan filsafat keharaman ‘ila’ dan
kafaratnya antara lain sebagai berikut:
1.
Keharaman ‘ila’ adalah karena semata bertentangan dengan
salah satu tujuan nikah, yaitu hubungan suami-istri dan tergolong menzalimi
istri, karena membiarkan istri dalam status yang tidak jelas, tidak digauli
seperti layaknya istri sah dan tidak dicerai agar istri bisa menikah dengan
orang lain.
2.
Oleh karenanya syari’at islam mengharuskan suami
menentukan pilihan antara melanggar sumpah dengan membayar kafarat atau
menceraikannya dengan tidak membayar kafarat. Ini agar ada kejelasan status
istri dan tidak berlarut-larut dalam ketidakpastian.
3.
Batasan waktu sampai empat bulan untuk menentukan pilihan
adalah disamping untuk menjerakan suami dan memberi kesempatan berfikir kedua
belah pihak (suami-istri), juga karena pada umumnya batas maksimal kemampuan
menahan nafsu seksual seseorang itu adalah empat bulan. Dan empat bulan ini
juga berfungsi untuk memastikan rahim istri dari adanya janin atau tidak.
4.
Adanya kafarat dalam masalah ini adalah untuk dijadikan
solusi, jika suami menyesal atas sumpah ‘ila’yang telah terlanjur diucapkan dan
untuk menjeratkan agar tidak melakukan lagi.[11]
Adapun diantara
hikmah dan filsafat keberadaan syari’at li’an antara lain sebagai berikut:
1.
Mulanya syari’at li’an difungsikan untuk merubah
kebiasaan jelek dan bodoh bangsa arab (masa jahiliyah) yang jika suami/istri
menuduh pasanganya dengan zina tanpa bukti/saksi, maka mereka akan sama-sama
mendatangi kahin(paranormal/dukun) untuk memutuskan dengan kemampuan ghaib yang
mereka yakini dimiliki sang dukun. Dan kebiasaan ini jelas-jelas berdampak
sangat negatif dan dapat memicu permusuhan dan perselisihan, karena sang dukun
sudah jelas tidak akan mengetahui hal ghaib, maka bila ia memutus dalam masalah
ini, sudah dapat dipastikan banyak salahnya.
2.
Karena sendi-sendi pernikahan adalah cinta dan kasih
sayang, maka bila salah satu pihak sudah tidak mempercayai pasanganya, bahkan
menuduhnya dengan perselingkuhan (zina) dengan tanpa bukti/saksi, maka hal itu
dapat merugikan pihak tertuduh dari berbagi aspek terutama harga diri dan
kehormatan. Oleh karena itu li’an dapat berperan sebagai penetralisir atau
pembersihan dari tuduhan zina bagi tertuduh dengan keberanianya bersumpah untuk
mendapat laknat Allah; jika ia benar-benar telah berzina. Begitupun dari pihak
penuduh yang tanpa bukti/saksi; jika ia tidak mau membalas dengan li’an juga,
maka ia wajib di had (dihukum) 80 kali cambuk atas tuduhanya yang tanpa
saksi/bukti (qodzaf), disamping itu, keberanian penuduh dengan li’an dapat
memperkuat tuduhanya bahwa dia berani mengambil konsekuensi (laknat) jika
berbohong.
3.
Li’an juga dapat dijadikan sebagai media pertimbangan
untuk penuduh yang mau menuduh pasanganya dengan zina; agar tidak sembarangan
menuduh tanpa bukti/saksi yang kuat.
Kemudian, hikmah
dari mahram itu sendiri, manusia merasa malu untuk menyebutkan kata jima’ atau
bersetubuh di depan orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan
(hubungan darah), apalagi melakukannya dengan mereka. Ditambah lagi bahwasanya
pernikahan seperti itu akan dapat menyakitkan pihak wanita. Dan juga untuk
menjaga keturunan dari marabahaya. Karena, syahwat kepada wanita-wanita yang
masih memiliki hubungan kekerabatan sangatlah lemah karena adanya rasa malu kepada
mereka yang sudah ada secar fitrah. Dan, ketika syahwat lemah, maka seditkitlah
keturunan. Selain itu juga para pakar berpendapat bahwa hal tersebut dapat
merugikan kesehatan. Secara lebih terperinci, hikmah-hikmah terhadap pelarangan
menikahi wanita-wanita yang sebelumnya telah dijelaskan yaitu antara lain :
1.
Adapun hikmah dari pengharaman menikahi dua saudara secara bersamaan adalah
karena pada hakikatnya mereka itu adalah sama dengan yang satunya. Bagaimana
seseorang dapat menghina dirinya sendiri dan menzaliminya, padahal orang yang
paling buruk adalah yang menghina dirinya sendiri.
2.
Hikmah dari dilarangnya menikahi istri orang lain atau wanita yang dalam
masa iddah. Mana mungkin seorang wanita menikah dua kali selama suaminya masih
ada dan belum menthalaqnya sedangkan dalam Al-Qur’an tidak ada syariat yang
membenarkan seorang wanita menikah dengan suami lebih dari satu, setelah akad
diikrarkan oleh seorang suami maka wanita tersebut telah sah menjadi istrinya
sampai masa iddah dalam thalaq raj’ipun dia masih dalam tanggung jawab
suaminya, maka diharamkan orang lain menikahinya dikhawatirkan jika ada janin
dalam rahimnya maka akan merusak status janin tersebut.
3.
Hikmah dilarangnya menikahi wanita yang musyrik
atau nonmuslim karena jika itu terjadi maka tidak menutup kemungkinan akan
mempengaruhi kehidan rumah tangga tersebut nantinya dan akan membuat status
rumah tangga menjadi tidak jelas serta membuat keturunannya kelak akan
kebingungan akan status agamanya. Dan adanya hubungan erat antara seorang suami
dan istri yang berlainan kepercayaan tersebut merupakan salah satu penyebab
yang paling cepat menumbuhkan kesyirikan di hati suami baik diakui ataupun
tidak.
4.
Hikmah larangan menikahi isteri yang telah
ditalak tiga yaitu maka akan membuat suami jera untuk melakukan thalaq yang
berulang-ulang kepada istrinya, dan agar si suami tidak asal menjatuhkan thalaq
ataupun memainkan perasaan si istri.
5.
Hikmah dari diharamkannya menikahi kerabat
akibat pernikahan juga untuk memuliakan keluarga yang masih ada nasab, karena
bagaimanapun kedudukan mereka sama dengan keluarga nasab setelah adanya
pernikahan.
Mayoritas fuqaha’ berpendapat
bahwa semua iddah tidak lepas dari sebagian mashlahat yang dapat dirasakan
hikmahnya, yaitu[12] :
1.
Mengetahui
kesucian rahim daripada janin agar tidak terjadi pencampuran air mani dari dua
orang laki-laki atau lebih dalam satu rahim, yang menyebabkan bercampur dan
rusaknya garis keturunan (nasab)
2.
Memberikan
kesempatan suami agar dapat introspeksi diri dan kembali kepada isteri yang
tercerai, sehingga memperpanjang masa bagi suami untuk dapat rukun kembali
dengan isterinya
3.
Berkabungnya
wanita yang ditinggal meninggal suami untuk memenuhi dan menghormati perasaan
keluarganya
4.
Mengagungkan
urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan terkumpulnya kaum
laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian yang lama.
5.
Upaya
mengagungkan urgensi akad talak dan mengangkat kedudukannya serta menyingkap
kemuliaannya.
6.
Menunaikan
hak suami dan menampakkan pengaruh atas
kehilangannya dalam hal larangan untuk berhias dan mempercantik diri
7.
Menjaga
hak suami, mashlahat bagi isteri, hak anak serta menegakkan hak Allah SWT yang
telah mewajibkannya.
Pada hakikatnya, maksud dari iddah
itu bertujuan untuk mengetahui kebersihan rahim dari kehamilan, yang dapat
diketahui dengan kelahiran dan juga dengan sesuatu yang meniadakannya yaitu
menstruasi/haidh, karena tidak mungkin wujudnya bersama kehamilan.
Sedangkan hikmah dan filsafat
lainnya dengan disyari’atkannya hak nafkah bagi wanita/bekas isteri pada masa iddah
adalah sebagai berikut[13]
:
1.
Karena
pada umumnya isteri tidak bekerja diluar rumah, sebab bukan menjadi
kewajibannya. Dan jika sang isteri yang telah diceri suaminya masih dalam masa
iddah tidak mendapat nafkah dari suaminya, maka akan dipastikan ia kesulitan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya terlebih untuk membiayai anak-anaknya.
2.
Karena
pada masa iddah sang isteri tidak diperbolehkan menikah, sebab suami masih
memiliki hak rujuk atasnya sampai habis masa iddah. Oleh karena itu tidak
mungkin ia dapat menikah lagi pada masa itu untuk mendapatkan hak nafkah dari
suami keduanya.
Dengan landasan inilah, maka sudah
kewajiban suami untuk memberikannya nafkah hingga sang wanita pun bisa
mempersiapkan diri untuk menikah dengan lelaki lainnya. Karena urgensinya
kewajiban nafkah kepada mantan isteri selama masa iddah inilah, maka hukum
syari’at pun memberikan keringanan bagi seorang suami yang memiliki kesulitan
finansial. Namun tidak untuk suami yang mampu.
Hikmah diwajibkannya mantan suami
untuk menafkahi anaknya dikarenakan hal ini mengandung hikmah agar jangan
sampai perceraian menyebabkan anak-anak terlantar dan ini berarti umat islam
telah meninggalkan suatu generasi yang lemah, yang dilarang oleh Islam dan
islam sendiri telah memerintahkan pada kita untuk meninggalkan generasi yang
kuat sebagai penerus kehidupan. Selain itu, juga terdapat beberapa hikmah
lainnya, diantaranya :
1.
Menjadikan
si anak terdidik dengan baik
2.
Mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, karena orang tua yang pertama kali
bertanggung jawab atas perbuatan anaknya
3.
Agar si anak dapat tumbuh baik, cerdas, serta
berbakti pada orang tua
4.
Memberi
kesempatan pada anak agar didik oleh kedua orang tua
B. Hikmah Sosiologis
Disamping hikmah-hikmah normative
yang dirasakan dengan ditegakkannya hukum keluarga Islam sebagai hukum keluarga
paling baik dalam menyelesaikan setiap permasalahan dalam keluarga. Terdapat
pula hikmah-hikmah sosiologis menurut beberapa pakar hukum keluarga Islam yang
penulis wawancarai guna melengkapi bahan bacaan para pembaca khususnya..
Menurut pakar hukum keluarga Islam
dan juga Ketua dari Pusat Studi Gender di UIN Maliki Malang, Erfaniah Zuhriah,
M.H., yang mengungkapkan bahwa hikmah disyari’atkannya hukum dzihar, ila’ dan
li’an hadir sebagai rambu-rambu dalam proses sosialisasi, yang tidak hanya
diperuntukkan untuk pasangan suami-isteri, tetapi dapat dicerminkan dalam
kehidupan sosial masyarakat pada umumnya, dimana agar antara individu satu
dengan yang lainnya dapat saling menjaga lisan maupun perilaku, sehingga
kehidupan bersosial dapat terjalin tentram, begitu juga dalam hidup
berkeluarga. Rambu-rambu sosial yang disyari’atkan oleh Islam ini kemudian
dapat dipegang sebagai norma-norma yang tertanam dalam setiap keluarga islam.
Lebih jauh lagi dijelaskan,
bahwasannya mengapa kemudian penyamaan isteri terhadap seorang ibu, mempunyai
efek negatif yang dapat berpengaruh bagi kehidupan berrumah tangga, contoh
kasus yang pernah disidangkan oleh peradilan agama, perceraian yang terjadi
karena ketidaksengajaan seorang suami yang setelah pulang kerja, pulang memeluk
dari belakang ibu mertuanya dikarenakan sang ibu mengenakan pakaian anaknya,
dalam hal ini isterinya tersebut, tanpa diketahui bahwa sang ibu sedang datang
berkunjung. Contoh kasus ini kiranya dapat dijadikan cerminan, betapa penyamaan
seorang isteri dan seorang ibu dapat berdampak yang negatif.
Perihal zhihar ini kemudian di-amin-kan
kembali oleh pemikiran salah satu pakar hukum Islam, yang banyak melakukan
penelitian-penelitian sosiologis-antropologis pemberlakuan hukum Islam, yaitu Dr.
H. Roibin, M.HI., dimana tindakan zhihar yang berarti tasyabbuh bi-umi,
merupakan tindakan yang berefek negatif dikarenakan fitroh dari manusia yang
tidak mau disamakan dengan siapapun, dikarenakan dapat melahirkan sifat
negatif, pesimistik, penilaian intelektual yang akan berdapmak psikis juga,
dimana apabila tasyabbuh tersebut dicerminkan dengan sosok oorang yang
lebih baik, maka akan melahirkan sifat sombong dan takabbur, sedangkan apabila
dicerminkan kepada sosok yang tidak lebih baik, maka akan menjatuhkan
intelektualitas dan kualitas seorang isteri, yang secara fisik maupun pemikiran
, dapat dikatakan lebih baik. Sehingga hal-hal seperti ini, dapat kemudian
terhindar dengan dari proses sosial, yang kemudian berdampak berbudayanya
hal-hal negatif dalam keluarga Islam, yang sekaligus berefek pada penilaian
masyarakat terhadap tiap-tiap keluarga muslim.
Sedangkan perihal
disyari’atkannnya ilaa’, labih dalam dikaji oleh Dr. H. Roibin, M.HI, bahwa
selama masa empat bulan masa penantian itu, terjadi proses membangun penyadaran
dalam realitas sosial antara suami dan isteri, dimana seorang suami dihadapkan
pada realitas sosial yang kemudian dapat menyadarkan diri, berevaluasi
berevaluasi secara lebih mendalam, begitu juga si isteri.
Tidak sampai disitu saja, Dr. H.
Roibin, M.HI., menjelaskan perihal li’an, dimana pensyari’atannya secara tidak
langsung berhikmah terhadap kehidupan sosiologis yaitu dituntut agar saling
membangun kepercayaan dan keyakinan dalam aspek teologis dan sosial,
pembaharuan keyakinan apabila ternyata tidak terbukti, dan kemudian revormulasi
terhadap konsep cinta yang kemudian semakin terbangun.
Selain itu, secara lebih simple
dijelaskan hikmah hukum zhihar dalam Islam oleh salah satu pakar dalam
tafsir hukum Islam, Ustadz H. Muh. Thoriquddin, Lc., M.Hi, dimana masalah zhihar
ini merupakan masalah etika, artinya sangat kurang ajar sekali katika laki-laki
menyamakan intrinya dengan ibunya, intinya semua merupakan tindakan-tindakan
preventif agar laki-laki yang dlam islam diberi kewenangan dlam rumah tangga
agar tidak seenaknya, karena itu hal yang serius. Ketika suami menyamakan istri
dengan ibunya dan dalam kenyataannya ibunya jelek, bodoh maka istri akan
terpuruk sekali, karena secara tidak langsung suami tersebut menghina istrinya
yang mengakibatkan istrinya menjadi sangat rendah, sebaliknya ketika ibunya
pintar, cantik, maka dikhawatirkan istri tersebut menjadi
sombong.
Selanjutnya, membahas mengenai
hikmah dari disyari’atkannya hak nafkah bagi seorang isteri yang masih dalam
masa iddah baik itu merupakan iddah cerai dengan tenggang waktu tiga kali
quru’, sedangkan untuk iddah ditinggal mati suami yaitu selama empat bulan
sepuluh hari, hal ini oleh pakar hukum Islam, Erfaniah Zuhriah, MH.,
mengungkapkan bahwa masa yang telah ditentukan ini pada umumnya mencakup
didalamnya masa dimana masyarakat dapat memberikan penenilaian sosial yang
sewajarnya, dicontohkan, ketika wanita beriddah baik karena talak maupun mati,
maka apabila dalam waktu yang singkat, si wanita tersebut sudah melakukan
pernikahan kembali dengan orang lain, atau berhias yang berlebihan, maka hal
itu akan memberikan penialian dalam masyarakat yang tidak baik, si wanita
tersebut akan dikenai sanksi sosial, seperti dicemooh, digunjing. Begitu pula
yang terjadi apabila seorang ayah lepas tanggungjawabnya untuk menafkahi
anaknya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa syari’at Islam yang mengatur mengenai
hal ini pada hakikatnya telah melihat culture-culture yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, sehingga mempunyai hikmah yang tidak saja dapat
dirasakan oleh diri wanita itu sendiri, maupun keluarganya, akan tetapi juga
dapat dirasakan mashlahah dari hikmahnya tersebut dalam kehidupan bersosial
masyarakat pada umumnya. Contoh kasus yang sekarang banyak dikontroversikan
yaitu mengenai pernikahan Nazar KDI dengan Muzdhalifah, yang notabene adalah
ibu angkatnya, selain itu juga pernikahan tersebut dilakukan pasca empat puluh
hari meninggalnya suami dari Muzdhalifah tersebut, alhasil, tidak heran
kemudian hal ini menjadi kontroversi sosial dalam masyarakt dikarenakan
pasangan tersebut telah melanggar aturan-aturan yang ada, baik dilihat dari
sisi kacamata agama, maupun kacamata sosial kehidupan.
Lebih lanjut lagi dikaji oleh
narasumber kami, Dr. H. Roibin, M,HI., bahwa kesadaran unutk pemberian nafkah
tidak hanya bagi isteri yang beriddah maupun anak dari mantan suami, pada
hakikatnya Islam mengajak agar manusia selalu berfikir yang tidak hanya
bersumber dari pemikiran yang emosional-subjektif, tetapi harus berpola pikir
yang rasioanal-objektif, karena telah ditakdirkan bahwasannya setiap manusia
yang hidup didunia ini sudah pasti memiliki tanggung jawab sosialnya
masing-masing, sehingga dapat dikatakan bahwa syari’at Islam dalam hal ini,
maupun pada umumnya selalu mengajak manusia untuk berfikir secara
rasional-objektif. Selain itu, nafkah dalam hubungan keluarga, maupun pasca
perceraian tersebut merupakan konsekuensi teologis untuk memciptakan dan
melahirkan kemashalahatan, yaitu membengun relasi dan komunikasi terhadap
isteri maupun anak, yang merupakan perilaku yang naturalis diciptakan oleh Allah
dan akan dimintai pertanggung jawabannya kelak.
Khususnya dalam hal penafkahan
mantan suami kepada anaknya, maka lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam Islam
sangar dijunjung tinggi untuk menjaga keturunan, guna memperbanyak
generasi-generasi muslim, anak dianggap sebagai tunas dari semakin kokohnya
nilai-nilai keislaman dalam kehidupan, sehingga pemberian nafkah kepada anak
memberikan dampak positif yang panjang bagi pendidikan maupun kualitas hidup
anak tersebut, sehingga berhikmah semakin banyaknya generasi muslim yang
berkualitas. Bila saja aspek-aspek rasional-objektif ini benar-benar
diperhatikan, maka akan sangat bernilai positif kedepannya, bukannya dalam
interaksi sosial antar keluarga, maupun interaksi dalam kehidupan sosial pada
umumnya.
Sedangkan dalam syari’at
diharamkannya menikahi wanita yang masih dalam mahrom sebagai alasan yang bersifat
normatif-teologis, karena pada hakikatnya Allah SWT telah memberikan magnet
tersendiri apabila menikah dengan yang bukan mahrom. Perintah menikahi wanita
yang bukan mahrom ini akan membawa pada kemajuan dunia pada umumnya, karena
terdapat varian yang transformatif, sehingga perilaku sosial tidak stagnan,
tetapi selalu berdinamika seiring dengan varian-varian yang ada dari pernikahan
antara yang bukan mahrom, sehingga varian transformatif tersebut lahir sebagai
insan yang kreatif dan inovatif. Seiring perkembangan zaman.
BAB IV
KESIMPULAN
KESIMPULAN
a. Zhihar ialah ucapan seorang suami
terhadap istrinya dengan menyamakan atau menyerupakan istrinya dengan ibunya dengan
tujuan untuk mengharamkan baginya menggauli istrinya untuk selamanya
sebagaimana ibunya sendiri. Hikmah normatifnya yaitu memberikan pelajaran
kepada suami agar tidak sembarang dalam memberikan penilaian kepada
isteri, sekaligus memberikan efek jera terhadap suami dengan pembayaran kafarat
yang dilakukan. Zhihar sebagai jalan keluar terhadap penindasan suami terhadap
isteri yang banyak terjadi pada zaman jahiliyah. Sedangkan analisa hikmah
sosiologisnya yaitu sebagai rambu-rambu interaksi sosial antara suami dan
isteri, maupun juga dapat dicerminkan dalam kehidupan sosial sehari-hari, serta
menghindari efek negatif yang dapat dirasakan dikarenakan fitroh manusia yang enggan
disamakan dengan siapapun.
b. Ila’ ialah bersumpahnya suami untuk
tidak lagi menggauli istrinya dengan mutlak, tanpa batasan waktu, atau ditambah
dengan kalimat “untuk selamanya” atau dibatasi waktu yang lebih dari empat
bulan. Ila’ ini memberi hikmah normatif yaitu member efek jera kepada suami,
masa empat bulan menjadi masa evaluasi bagi suami maupun isteri, serta
memastikan rahim dari si isteri. Sedangkan hikmah sosiologis yang dapat
dirasakan yaitu sebagai penyadaran terhadap realitas sosial kemudian dapat
memberikan efek perubahan, juga sebagai rambu-rambu dalam bersosialisasi.
c. Li’an ialah beberapa kalimat khusus
(laknat) yang dijadikan hujjah terhadap tuduhan zina oleh suami/istri terhadap
istri/suaminya dengan tidak adanya saksi empat orang yang mampu didatangkan
oleh penuduh untuk mendukung tuduhanya. Hikmahnya yaitu agar pasangan
suami-isteri dapat selalu menjaga kepercayaan diantara mereka, sebagai penetralisir atau pembersihan dari tuduhan
zina bagi tertuduh dengan keberanianya bersumpah untuk mendapat laknat Allah, serta bisa sebagai media pertimbangan untuk penuduh yang mau menuduh pasanganya dengan zina agar tidak
sembarangan menuduh tanpa bukti/saksi yang kuat. Sedangkan hikmah sosiologisnya adalah dituntut
agar saling membangun kepercayaan dan keyakinan dalam aspek teologis dan
sosial, pembaharuan keyakinan apabila ternyata tidak terbukti, dan kemudian
revormulasi terhadap konsep cinta yang kemudian semakin terbangun.
d. Suami tetap wajib memberikan nafaqah
terhadap istrinya yang telah dicerai dan masih berada dalam masa ‘iddah, juga
terhadap keluarganya, hal ini karena pada umumnya seorang isteri tidak bertugas
mencari nafkah, sedangkan masa iddah memiliki jangka waktu yang panjang dan
mereka pun masih tidak dibolehkan untuk menikah sebelum masa itu selesai,
sehingga dengan kewajiban pemberian nafkah bagi suami terhadap isterinya yang
masih beriddah menurut hukum Islam ini sebagai media agar Isteri tidak
melakukan hal-hal yang dilarang oleh syari’at seperti dengan menikah lagi
sebelum masa idaahnya berakhir, dengan maksud agar ada yang menafkahinya.
Sedangkan hikmah sosiologisnya yaitu dengan disyari’atkannya hukum ini maka
secara tidak langsung Islam mengajak untuk umatnya agar selalu berfikir secara
rasional-objektif dengan melakukan amanah dan kewajiban yang telah diberikan,
sehingga tidak lagi lari dari tanggungjawab dan tidak berfikir yang
emosional-subjektif saja. Selain itu masa iddah yang telah disyariatkan juga
menjadi suatu bukti bahwasannya Islam ramah dengan budaya sosial kemasyarakatan
karena masa iddah yang selama tiga kali quru’ maupun empat bulan sepuluh hari
menjadi masa dimana biasanya masyarakat akan memeberikan penialaian sosial
perihal etika yang berkembang yang kemudian dilanggar atau dipatuhi oleh wanita
beriddah tersebut.
e. Mahram ialah wanita-wanita yang dilarang
untuk dinikahi. Keharaman yang disyariatkannya ini memberikan hikmah untuk memuliakan keluarga yang
masih ada nasab, karena bagaimanapun kedudukan mereka sama dengan keluarga
nasab setelah adanya pernikahan. Sedangkan hikmah sosiologisnya yaitu pernikahan dengan wanita yang ghoiro-mahrom akan memberikan varian-varian yang transformatif
bagi perkembangan dunia pada umumnya, sehingga proses sosial selalu berdinamika
bersama varian-varian yang inofatif dan kreatif tersebut, sehingga tidak
terjadi stagnansi.
f. Mantan suami tetap wajib memberikan
nafakah kepada anaknya adalah agar anak tersebut tidak terlantar, dan
dikhawatirkan istrinya tidak mampu untuk menafkahi, serta agar si anak tetap
bisa merasakan kasih sayang dari ayahnya. Dikarenakan seorang anak dalam Islam
menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam mempertahankan nilai-nilai
keisalaman, sehingga perlu diasuh dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat tumbuh
menjadi generasi Islam yang tangguh dan bisa mempertahankan pilar-pilar
keislama, hal ini memebrikan nilai yang berbeda pada kehidupan sosial tentunya
karena akan memberikan ketentraman yang senantiasa terjalin dikarenakan
generasi-generasi muslim yang diasuh dengan baik tersebut akan senantiasa memegang
nilai-nilai Islam didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Jarjawi, Syekh Ali Ahmad.
Indahnya Syari’at Islam. Jakarta
: Gema Insani Press.
2006.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqh Munakahat. Jakarta : Amzah. 2009.
Ghazaly, Abd.Rahman.
Fiqh Munakahat. Jakarta
: Kencana. 2006.
Kamal, Abu Malik. Shahih Fikih
Sunnah.
Jakarta : Pustaka Azzam.
2007.
Taimiyah, Ibn., Qayyim, Ibn.
Hukum Islam dalam Pertimbangan Akal dan Hikmah. Jakarta
: Pustaka Azzam.
Tamrin, Dahlan. Filsafat Hukum
Islam.
Malang: UIN-Malang Press. 2007.
Tihami., Sahrani,Sohari. Kajian
Fikih Nikah Lengkap. Jakarta : Rajawali Press. 2009.
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat,
(Jakarta : Amzah, 2009), hal. 318
[3] Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta : Pustaka
Azzam, 2007), hal. 499
[4] Tihami., Sohari Sahrani, Kajian Fikih Nikah Lengkap,
(Jakarta : Rajawali Press, 2009), hal. 233-234
[5] Tihami., Sohari Sahrani, Ibid, hal. 173-175
[6] Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Indahnya Syari’at Islam, (Jakarta
: Gema Insani Press, 2006), hal. 396
[7]Said bin Abdullah bin Thalib al Hamdani, Risalah Nikah(Jakarta: Pustaka Amani, 2002)
[8]Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqh Sunnah untuk Wanita(Jakarta Timur:Al-I’tishom, 2007)hal.605
[12] Ibn Taimiyah., Ibn Qayyim, Hukum Islam dalam Pertimbangan Akal
dan Hikmah, (Jakarta : Pustaka Azzam), hal. 166
[13] Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang : UIN-Malang
Press, 2007),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar