Sabtu, 30 Juni 2012

Filsafat Hukum Keluarga Islam


BAB I
P E N D A H U L U A N
A.    Latarbelakang
Akad nikah dalam Islam tidak untuk jangka waktu tertentu, tetapi untuk selama hayat dikandung badan. Baik suami maupun isteri, harus berusaha memelihara rumah tangga yang tenang penuh kedamaian lahir batin serta menciptakan taman yang permai, tempat tubuhnya generasi yang berbudi penerus dari orang tuanya. Karena itu, hubungan suami isteri itu sangat suci dan terhormat, kuat ikatannya, dan tinggi nilainya sesuai dengan tinggi nilai manusia itu sendiri.
Hubungan antarmanusia, apalagi dalam kehidupan rumah tangga, tidak semudah apa yang dibayangkan, ia bukan angka-angka yang dapat dihitung atau diperidiksi. Membangun rumah tangga bukan seperti membangun rumah. Perbedaan pendapat bahkan percekcokan pasti ada dan terjadi.
Islam telah banyak mengatur perihal berbagai lini kehidupan umat manusia, sehingga tidak salah disebut sebagai agama yang komprehensif dengan ajarannya yang bersifat sholihun fii kulli makan wa zaman. Termasuk juga didalamnya mengatur tentang bagaimana menangani setiap permasalahan dalam suatu keluarga.
Hukum keluarga Islam sebagai tawaran dalam menyelesaikan beberapa permasalahan, pada hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berrumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif, artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga akan berakibat hukum Islam dianggap tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan mengupas lebih dalam terkait hikmah yang terkandung dibalik hukum keluarga Islam yang telah diatur berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga para pembaca dapat memahami hikmah-hikmah tersebut, dan kemudian dapat berhujjah atas hukum Islam sebagai solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahn kelurga, tidak hanya keluarga Islam saja, tetapi bagi umat manusia.

B.     Rumusan Masalah
Konsep hukum keluarga Islam yang menjadi fokus pembahasan kami dalam makalah ini terdapat empat pembahasan, yaitu :
1.      Zhihar, ila’, dan li’an
2.      Nafaqah bagi wanita beriddah
3.      Keharaman menikahi wanita yang masih dalam golongan mahrom
4.      Nafaqah dari mantan suami terhadap anaknya
Berdasarkan beberapa fokus pembahasan ini, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana konsep ke-fiqih-an hukum keluarga Islam terkait beberpa point pembahasan diatas, baik dasar hukum maupun pelaksanaannya ?
2.      Apa saja yang menjadi hikmah dibalik pensyariatan hukum keluarga Islam tersebut, jika dilihat dari kacamata normatif maupun analisa sosiologis ?

C.    Tujuan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka oleh penulis yang menjadi tujuan utama pembahasan makalah ini yaitu memahami secara lebih mendalam hikmah-hikmah yang ada dibalik hukum keluarga Islam yang telah disyari’atkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak hanya hikmah normatif saja, akan tetapi juga menganalisa hikmah sosiologis yang dapat dirasakan, setelah memahami secara lebih mendalam konsep ke-fiqih-annya berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.



BAB II
P E M A H A S A N
A.    Zhihar
Zhihar menurut bahasa arab terambil dari kata zhahrun yang bermakna punggung. Dalam kaitanya dengan hubungan suami istri, zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istrinya: “engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku” 
Ucapan zhihar dimasa jahiliyah dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi istri dan berakibat menjadi haramnya istri itu bagi suami dan laki-laki selainya, untuk selama-lamanya.
Syari’at islam datang untuk memperbaiki masyarakat, mendidiknya dan mensterilkanya menuju kemaslahatan hidup. Hukum islam menjadikan ucapan zhihar itu berakibat hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat hukum zhihar yang bersifat duniawi ialah menjadi haramnya suami menggauli istrinya yang dizhihar sampai suami melaksanakan kafarat zhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulang perkataan dan sikapnya yang buruk itu. Sedangkan yang bersifat ukhrawi ialah bahwa zhihar itu perbuatan dosa, orang yang mengucapkanya berarti berbuat dosa, dan untuk membersihkanya wajib bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah.
Sebagai dasar hukum adanya pengaturan zhihar ialah firman Allah surat al-Mujadalah ayat 2-3:
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
Orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan”.[1]
B.     Li’an
Li’an menurut pengertian bahasa adalah berarti laknat (jauh) atau melaknat. Sedangkan menurut istilah hukum islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhanya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhanya itu.
Dalam Q.S.an-Nur:6-9 dijelaskan kapan dan bagaimana cara li’an, yaitu  sebagai berikut:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (٦)
“dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”.
وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (٧)
“dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta”.
وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (٨)
“istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah ssungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta”.
  وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (٩)
“dan (sumpah) yang kelima:bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”
Dalam KHI dijelaskan dan ditetapkan sebab akibat dari li’an, yaitu putus perkawinan untuk selamanya (pasal 125); kapan dan kenapa li’an dilakukan (pasal 126); tata cara li’an (pasal 127) dan keabsahan li’an;bila dilakukan dihadapan sidang pengadilan agama (pasal 128).
C.     ‘Ila
Adapun ‘ila’ menurut bahasa berarti bersumpah dengan mutlak, sedangkan menurut istilah hukum islam ialah sumpah suami dengan menyebut nama Allah sifat-Nya untuk tidak lagi mendekati(menggauli/hubungan seksual) istrinya dengan mutlak, tanpa batasan waktu.
Beberapa contoh ‘ila’ adalah ucapan suami kepada istrinya sebagai berikut:
1.      Demi Allah saya tidak akan menggauli istriku
2.      Demi kekuasaan Allah saya tidak akan mencampuri istriku selama lima bulan
3.      Demi Allah saya tidak akan menggauli istriku selamanya
Tapi jika dibatasi dengan waktu yang kurang dari empat bulan sampai maksimal empat bulan, maka tidak dihukumi ‘ila’. Namun juga tetap dihukumi ‘ila’ jika suami bersumpah dengan tidak menyebut nama Allah atau sifatnya Allah, namun ia (suami) menggantungkan hubungan seksualnya dengan talak, zhihar, atau nazar, seperti,”jika saya menggauli istri saya;maka jatuhlaj talak saya, saya men-zhiharnya atau wajib bagi saya haji, puasa”dan lain-lain.
Suami yang meng’ila’ istrinya tergolong perbuatan dosa, namun ia harus menentukan antara dua pilihan (dengan perintah hakim), yaitu antara fi’ah (melanggar sumpah dengan tetap menggauli istrinya) dan membayar kafarat (sama dengan kafarat zhihar diatas) atau mentalak istrinya (talak satu). Namun penentuan pilihan suami ini dilakukan setelah sang istri menunggu selama empat bulan, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah:226-227:
 لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٢٢٦) وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٢٧)
Artinya:
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.   

D.    Hak Nafaqah bagi Wanita Beriddah
Iddah dalam pengertian bahasa (Arab) diambil dari kata “al-add” yang berarti hitungan atau bilangan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu per satu dan jumlah keseluruhan[2], seperti dalam Firman Allah :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً
Artinya :
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan“(QS. at-Taubah : 36)
Sedangkan menurut pengertian terminologis, iddah adalah masa tunggu yang ditentukan oleh syari’at bagi wanita setelah berpisah dari suami yang mengharuskan untuk menunggu tanpa melakukan perkawinan hingga masa tersebut berakhir.[3] Dalam istilah fuqaha iddah adalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain.
Iddah hukumnya wajib bagi isteri yang tertalak/ditinggal mati suaminya. Hal ini didasarkan pada Firman Allah sebagai berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'” (QS. al-Baqarah : 228)

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً
Artinya :
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari” (QS. al-Baqarah : 234)

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
Artinya :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (QS. ath-Thalaq : 4)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa iddah hukumnya wajib bagi wanita yang tertalak/ditinggal mati oleh suaminya, sehingga ketentuan ini hanya diperuntukkan bagi wanita tersebut. Dalam Firman Allah disebutkan bahwa :

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya . Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”. (QS. al-Baqarah : 229-230)

Ayat diatas merupakan dasar dari talak. Talak dal Islam dibagi menjadi dua, yaitu :
1.      Talak Raj’I yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali isterinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu, dan isteri benar-benar sudah digauli. Yang termasuk dalam talak ini adalah[4] :
a)      Talak satu atau dua tanpa iwadh dan telah melakukan hubungan suami-isteri, diantaranya :
-          talak mati, tidak hamil
-          talak hidup dan hamil
-          talak mati dan hamil
-          talak hidup dan tidak hamil
-          talak hidup dan belum haid
2.      Talak Ba’in yaitu talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami-isteri. Talak Ba’in terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
a)      Talak ba’in shugra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada isteri bekas isterinya itu. Yang termasuk dalam talak bain shugro ini adalah talak yang dijatuhkan suami kepada isteri yang belum terjadi dukhul dan khulu.
b)      Talak ba’in kubro, ialah talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada bekas isteri, walaupun kedua bekas suami-isteri tersebut ingin melakukannya, baik di waktu iddah atau sesudahnya.
Wanita yang beriddah, dalam masa iddah talak raj’i atau hamil berhak mendapatkan nafkah, karena Allah SWT berfirman :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ
Artinya :
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu” (QS. at-Thalaq : 6)
وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya :
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin” (QS. at-Thalaq : 6)
Dua ayat diatas menunjukkan bahwa wanita hamil berhak mendapat nafkah, baik dalam talak raj’I atau ba’in. Adapun talak ba’in, para ahli fikih berbeda pendapat tentang hak nafkahnya. Jika dalam keadaan hamil, maka terdapat tiga pendapat[5]. Pendapat pertama, ia berhak mendapatkan rumah, tetapi tidak berhak mendapatkan nafkah. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’I, yang berhujjah dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat at-Thalaq ayat 6 diatas. Penapat kedua, dikemukakan oleh Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz dan golongan Hanafi, mereka mengatakan bahwa isteri berhak mendapatkan nafkah dan rumah. Mereka juga berhujjah dengan ayat yang sama.
Ayat tersebut menunjukkan wajibnya memeberikan tempat tinggal. Jika memberikan tempat tinggal itu hukumnya wajib, maka dengan sendirinya juga wajib memeberi nafkah, seperti makanan, pakaian, dan lainnya. Firman Allah SWT :

فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْراً
Artinya :
“Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang . Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (QS. ath-Thalaq : 1)
Dalam hal ini, tidak dapat diterapkan apabila sudah talak tiga. Pendapat ketiga, isteri tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Ini dikemukakan oleh Ahmad, Abu Dawud, Abu Saur dan Ishaq.
Dalam sebuah riwayat dari Ali, Ibnu Abbas, al-Hasan, ‘Atha’, Sya’bi Abu Abi Laila, dan Syiah Imamiah, mereka mengemukakan alasan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Fatimah binti Qais, ia berkata, “Suamiku telah menceraikan aku tiga kali pada masa Rasulullah SAW, ia tidak memeberikan nafkah kepadaku atau tempat tinggal” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, Rasulullah SAW bersabda, tempat tinggal dan nafkah hanyalah hak bagi perempuan yang suaminya ada hak rujuk. Rasulullah SAW bersabda.

اَنَّهُ قَالَ لَهَا رَسُوْلُ الله ص.م. لاَنَفَقَةَ لَكَ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنِى حَامِلَةً (روه احمدومسلم و ابوداود و النسائى)
Artinya :
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda kepada Fatimah, “Tidak ada nafkah bagimu kecuali kamu hamil” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i)

Di saat hukum syariat mewajibkan wanita untuk menjalani masa iddahnya, maka pada saat itulah hukum syari’at pun mewajibkan mantan suami yang menceraikannya untuk bisa menafkahinya, kerena sesungguhnya suamilah yang menjadi penyebab diceraikannya wanita tersebut. Dengan iddahlah seorang wanita menjadi masih terikat dengan ikatan pernikahannya hingga ia bisa meneylesaikan masanya. Terkadang pula, tidak jarang wanita yang diceraikan tidak memiliki keluarga dan juga miskin.[6]

E.     Larangan Menikah Golongan Wanita Mahram
Mahram berarti yang terlarang atau sesuatu yang terlarang.Maksudnya ialah wanita yang tidak boleh dinikahi.Pengertian mahram menurut Imam Ibnu Qudamah adalah: “Semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab (keturunan) persusuan dan pernikahan.” Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa mahram mencakup tiga macam, karena sebab keturunan, persususan dan pernikahan.
Pada garis besarnya wanita yang tidak boleh dinikahi itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu terlarang sementara (mahram muaqqat)[7] dan terlarang selama-lamanya (mahram muabbad).
Yang termasuk didalam mahrammuaqqat ialah : 
1.      Karena mengumpulkan dua orang wanita yang ada hubungan mahram. Dasar  hukumnya ialah firman Allah QS. An-Nisa’: 23
وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
Artinya :
“dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”
2.      Istri orang lain dan wanita yang masih dalam masa iddah. Dasar  hukumnya ialah firman Allah QS. An-Nisa’: 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ
Artinya :
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu”
3.      Wanita-wanita musyrik hingga masuk islam. Dasar  hukumnya ialah firman Allah QS. al-Baqarah : 221
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Artinya :
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.(al- Baqarah:221)
4.      Karena telah dicerai tiga kali, karena itu daharamkan bagi orang yang menceraikannya untuk langsung dinikahi.
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya :
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui. (al-Baqarah:230)
5.      Menikah dengan wanita kelima bagi yang telah berpoligami dengan empat istri.[8]
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
Artinya :
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. (an-Nisa:3)

Yang termasuk dalam Tahrim muabbad yaitu Wanita yang terlarang untuk mengawininya selama-lamanya ialah disebabkan oleh :
1.      Karena keturunan nasab

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
Artinya :
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (an-Nisa’: 23)
Wanita yang terlarang memurut ayat diatas ialah:
a.       Ibu-ibu,maksudnya ialah ibu, ibu dari ibu, ibu dari ayah dan seterusnya keatas.
b.      Anak perempuan, maksudnya ialah anak-anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya kebawah.
c.       Saudara perempuan, maksudnya ialah saudara perempuan sekandung, seayah, dan seibu.
d.      Saudara ayah yang perempuan: termasuk juga didalamnya saudara kakek yang perempuan.
e.       Daudara ibu yang perempuan: termasuk juga didalamnya saudara nenek yang perempuan.
f.       Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, maksudnya saudara laki-laki sekandung, seayah, dan seibu.
g.      Anak perempuan dari saudara perempuan, maksudnya ialah saudara perempuan sekandung, seyah atau seibu.
2.      Karena mengawini seorang wanita (mushaharah).
a.       Bekas istri ayah, dasarnya adalah firman Allah QS. an-Nisa’:22
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاء سَبِيلاً
      Artinya :
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
b.      Bekas istri dari anak, termasuk dadalamnya bekas istri cucu laki-laki dan seterusnya kebawah. Dasarnya adalah firman Allah QS. an-Nisa’:23
Artinya :
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
“ (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)”
c.       Anak tiri ialah anak dari istri yang telah dicampuri. Apabila istri itu belum dicampuri, maka anak tiri tersebut halal dinikahi. Termasuk juga didalamnya anank-anak perempuan dari anak tiri dan seterusnya. Dasarnya adalah firman Allah QS. an-Nisa’:23
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ
      Artinya :
“Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya”
d.      Karena sepersusuan.
Dasar hukumnya adalah firman Allah QS. An-Nisa’: 23
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ
Artinya :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;

Hadits Rasulullah Saw menerangkan bahwa haram karena susuan seperti haram karena keturunan. Diterangkan bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah diminta unuk mengawini anak perempuan pamannya Hamzah, beliau bersabda:
انما لاتحل لي انها ابنة اخي من الرضاعة و يحرم من الرضاعة ما يحرم من النسب.
“Bahwasannya ia (anak perempuan pamanku) ia tidak halal bagiku, bahwasannya ia adlah saudaraku sepesusuan itu adalah (sama denngan) haram dari keturunan.”
Berdasarkan ayat dan hadits, maka yang termasuk mahram karena persusuan itu ialah:
1)      Ibu yang menyusukan,termasuk didalamnya ibu dari ibu yanh menyusukan,ibu dari suami ibu yang menyusukan dan seterusnya keatas.
2)      Anak-anak perempuan dari ibu yang menyusukan.
3)      Anak-anak perempuan dari suami ibu yanh menyusukan.
4)      Saudara-saudara perempuan sesusuan.
5)      Anak-anak dari saudara laki-laki sesusuan. Termasuk didalamnya anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki ibu dan suami sesusuan.
6)      Anak-anak dari saudara perempuan sesusuan. Termasuk didalamnya anak-anak perempuan dari anak-anak perempuan dari ibu susuan dan suami ibu susuan.
7)      Saudara-saudara perempuan dari ibu yang menyusukan.
8)      Saudara-saudara perempuan dari suami ibu yang menyusukan.

F.     Wajib Nafaqah bagi Mantan Suami kepada Anak dan Sanksi Hukumnya
Seorang suami wajib memenuhi seluruh kebutuhan istri dan anaknya yang berupa makanan-minuman, pakaian dan tempat tinggal. Kewajiban suami tersebut harus dilakukan olehnya tanpa harus diminta oleh istri maupun anak-anaknya, artinya secara otomatis harus dilakukan selama dia berstatus suami sekaligus bapak dari anak-anaknya. Jika ternyata suami tidak melaksanakan kewajibannya dengan sempurna sehingga istri dan anak-anaknya mengalami kekurangan bahkan hampir terlantar, maka si suami jelas telah berdosa karena dia melalaikan kewajibannya. Dalam keadaan demikian, Islam membolehkan si istri untuk mengambil harta suaminya walau tanpa sepengetahuan suami sedemikian rupa sehingga dengan harta itu dapat memenuhi kebutuhan pokok bagi dirinya dan anak-anaknya. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw dalam hadits berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ هِنْدٌ أُمُّ مُعَاوِيَةَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ سِرًّا قَالَ خُذِي أَنْتِ وَبَنُوكِ مَا يَكْفِيكِ بِالْمَعْرُوفِ (رواه البخاري(
Artinya :
“Dari ‘Aisyah ra telah berkata Hindun ibunya Mu’awiyah kepada Rasulullah saw: sungguh Abu Sufyan itu adalah laki-laki yang pelit (bakhil), lalu apakah tidak dosa bagi saya mengambil dari harta dia secara diam-diam? Beliau menjawab: ambillah olehmu dan anakmu sejumlah harta yang akan mencukupi kebutuhanmu dengan sempurna” (HR Bukhari)
Ketika terjadi perceraian, maka mantan suami wajib menafkahi mantan istrinya juga wajib memberikan tempat tinggal kepadanya selama masa iddah yakni tiga bulan, jika mantan istrinya tidak sedang hamil. Jika mantan istrinya tengah hamil maka kewajiban sang mantan suami tersebut untuk memberikan nafkah adalah bertambah lama yakni selama mantan istrinya hamil hingga melahirkan. Inilah yang dipastikan oleh pernyataan Allah SWT :
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا )الطلاق : ٤(
Artinya :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS ath-Thalaaq [65]: 4)
Ketika anak berada dengan salah satu orangtuanya maka orangtua lainnya hendaklah tetap bertanggungjawab mendidik, mengasuh dan untuk seorang ayah tetap berkewajiban menafkahi sang anak dan memberi mereka kasih sayang karena ini adalah hak mereka, hal ini telah disebutkan didalam al-Qura’n surat at-Tholaq:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (الطلاق :٦(
Artinya :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS ath-Thalaaq [65]: 6)
 Selain itu didalam undang-undang juga mengatur tentang kewajiban sorang ayah yang telah menjadi mantan istrinya untuk menafkahi anaknya yang di asuh oleh ibu si anak (mantan istri). Pasal 41 UU Perkawinan menentukan bahwa akibat putusnya perkawinan suami tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Ketentuan ini juga dipertegas oleh pasal 105 (c) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa bila terjadi perceraian maka biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Namun demikian pasal 41 (b) UU Perkawinan juga menyatakan bahwa bila Bapak dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Prinsip ini diperkuat oleh Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1990 tentang ratifikasi Konvensi Hak Anak pasal 18 ayat 1 serta UU nomor 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pasal 16 (d) yang pada pokoknya menyatakan dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak menjadi tanggungjawab bersama kedua orang tua.




BAB III
H I K M A H
A.    Hikmah Normatif
Hikmah dan filsafat keharaman zhihar dan kaffaratnya antara lain sebagai berikut:
1.      Suami adalah manusia biasa yang memungkinkan untuk salah dan lepas kontrol (kebablasan), sehingga ia menyesal atas ucapan zhihar pada istrinya. Maka syari’at memberi jalan keluar dengan mewajibkan kafarat agar ia bisa kembali menggauli istrinya.
2.      Kafarat yang ditetapkan syari’at sebagai bentuk hukuman, baik hukuman berupa tebusan uang, yaitu memerdekakan budak dan memberi makan 60 fakir miskin atau hukuman berupa badan, yaitu berpuasa selama dua bulan berturut-turut.[9]
Hikmah yang dimaksud dari semua itu adalah untuk mengingatkan dan mendidik agar jangan melakukan zhihar lagi. Disamping itu, untuk menentang kebiasaan kaum jahiliyah yang mereka itu menzhihar istri-istri mereka secara terus-menerus. Islam datang dengan membawa rahmat dan kasih sayang, maka pikirkanlah betapa hikmat Allah yang Maha Tinggi. [10]
Sedangkan hikmah dan filsafat keharaman ‘ila’ dan kafaratnya antara lain sebagai berikut:
1.      Keharaman ‘ila’ adalah karena semata bertentangan dengan salah satu tujuan nikah, yaitu hubungan suami-istri dan tergolong menzalimi istri, karena membiarkan istri dalam status yang tidak jelas, tidak digauli seperti layaknya istri sah dan tidak dicerai agar istri bisa menikah dengan orang lain.
2.      Oleh karenanya syari’at islam mengharuskan suami menentukan pilihan antara melanggar sumpah dengan membayar kafarat atau menceraikannya dengan tidak membayar kafarat. Ini agar ada kejelasan status istri dan tidak berlarut-larut dalam ketidakpastian.
3.      Batasan waktu sampai empat bulan untuk menentukan pilihan adalah disamping untuk menjerakan suami dan memberi kesempatan berfikir kedua belah pihak (suami-istri), juga karena pada umumnya batas maksimal kemampuan menahan nafsu seksual seseorang itu adalah empat bulan. Dan empat bulan ini juga berfungsi untuk memastikan rahim istri dari adanya janin atau tidak.
4.      Adanya kafarat dalam masalah ini adalah untuk dijadikan solusi, jika suami menyesal atas sumpah ‘ila’yang telah terlanjur diucapkan dan untuk menjeratkan agar tidak melakukan lagi.[11]
Adapun diantara hikmah dan filsafat keberadaan syari’at li’an antara lain sebagai berikut:
1.      Mulanya syari’at li’an difungsikan untuk merubah kebiasaan jelek dan bodoh bangsa arab (masa jahiliyah) yang jika suami/istri menuduh pasanganya dengan zina tanpa bukti/saksi, maka mereka akan sama-sama mendatangi kahin(paranormal/dukun) untuk memutuskan dengan kemampuan ghaib yang mereka yakini dimiliki sang dukun. Dan kebiasaan ini jelas-jelas berdampak sangat negatif dan dapat memicu permusuhan dan perselisihan, karena sang dukun sudah jelas tidak akan mengetahui hal ghaib, maka bila ia memutus dalam masalah ini, sudah dapat dipastikan banyak salahnya.
2.      Karena sendi-sendi pernikahan adalah cinta dan kasih sayang, maka bila salah satu pihak sudah tidak mempercayai pasanganya, bahkan menuduhnya dengan perselingkuhan (zina) dengan tanpa bukti/saksi, maka hal itu dapat merugikan pihak tertuduh dari berbagi aspek terutama harga diri dan kehormatan. Oleh karena itu li’an dapat berperan sebagai penetralisir atau pembersihan dari tuduhan zina bagi tertuduh dengan keberanianya bersumpah untuk mendapat laknat Allah; jika ia benar-benar telah berzina. Begitupun dari pihak penuduh yang tanpa bukti/saksi; jika ia tidak mau membalas dengan li’an juga, maka ia wajib di had (dihukum) 80 kali cambuk atas tuduhanya yang tanpa saksi/bukti (qodzaf), disamping itu, keberanian penuduh dengan li’an dapat memperkuat tuduhanya bahwa dia berani mengambil konsekuensi (laknat) jika berbohong.
3.      Li’an juga dapat dijadikan sebagai media pertimbangan untuk penuduh yang mau menuduh pasanganya dengan zina; agar tidak sembarangan menuduh tanpa bukti/saksi yang kuat.
Kemudian, hikmah dari mahram itu sendiri, manusia merasa malu untuk menyebutkan kata jima’ atau bersetubuh di depan orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan (hubungan darah), apalagi melakukannya dengan mereka. Ditambah lagi bahwasanya pernikahan seperti itu akan dapat menyakitkan pihak wanita. Dan juga untuk menjaga keturunan dari marabahaya. Karena, syahwat kepada wanita-wanita yang masih memiliki hubungan kekerabatan sangatlah lemah karena adanya rasa malu kepada mereka yang sudah ada secar fitrah. Dan, ketika syahwat lemah, maka seditkitlah keturunan. Selain itu juga para pakar berpendapat bahwa hal tersebut dapat merugikan kesehatan. Secara lebih terperinci, hikmah-hikmah terhadap pelarangan menikahi wanita-wanita yang sebelumnya telah dijelaskan yaitu antara lain :
1.      Adapun hikmah dari pengharaman menikahi dua saudara secara bersamaan adalah karena pada hakikatnya mereka itu adalah sama dengan yang satunya. Bagaimana seseorang dapat menghina dirinya sendiri dan menzaliminya, padahal orang yang paling buruk adalah yang menghina dirinya sendiri.
2.      Hikmah dari dilarangnya menikahi istri orang lain atau wanita yang dalam masa iddah. Mana mungkin seorang wanita menikah dua kali selama suaminya masih ada dan belum menthalaqnya sedangkan dalam Al-Qur’an tidak ada syariat yang membenarkan seorang wanita menikah dengan suami lebih dari satu, setelah akad diikrarkan oleh seorang suami maka wanita tersebut telah sah menjadi istrinya sampai masa iddah dalam thalaq raj’ipun dia masih dalam tanggung jawab suaminya, maka diharamkan orang lain menikahinya dikhawatirkan jika ada janin dalam rahimnya maka akan merusak status janin tersebut.
3.      Hikmah dilarangnya menikahi wanita yang musyrik atau nonmuslim karena jika itu terjadi maka tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi kehidan rumah tangga tersebut nantinya dan akan membuat status rumah tangga menjadi tidak jelas serta membuat keturunannya kelak akan kebingungan akan status agamanya. Dan adanya hubungan erat antara seorang suami dan istri yang berlainan kepercayaan tersebut merupakan salah satu penyebab yang paling cepat menumbuhkan kesyirikan di hati suami baik diakui ataupun tidak.
4.      Hikmah larangan menikahi isteri yang telah ditalak tiga yaitu maka akan membuat suami jera untuk melakukan thalaq yang berulang-ulang kepada istrinya, dan agar si suami tidak asal menjatuhkan thalaq ataupun memainkan perasaan si istri.
5.      Hikmah dari diharamkannya menikahi kerabat akibat pernikahan juga untuk memuliakan keluarga yang masih ada nasab, karena bagaimanapun kedudukan mereka sama dengan keluarga nasab setelah adanya pernikahan.
Mayoritas fuqaha’ berpendapat bahwa semua iddah tidak lepas dari sebagian mashlahat yang dapat dirasakan hikmahnya, yaitu[12] :
1.      Mengetahui kesucian rahim daripada janin agar tidak terjadi pencampuran air mani dari dua orang laki-laki atau lebih dalam satu rahim, yang menyebabkan bercampur dan rusaknya garis keturunan (nasab)
2.      Memberikan kesempatan suami agar dapat introspeksi diri dan kembali kepada isteri yang tercerai, sehingga memperpanjang masa bagi suami untuk dapat rukun kembali dengan isterinya
3.      Berkabungnya wanita yang ditinggal meninggal suami untuk memenuhi dan menghormati perasaan keluarganya
4.      Mengagungkan urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan terkumpulnya kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian yang lama.
5.      Upaya mengagungkan urgensi akad talak dan mengangkat kedudukannya serta menyingkap kemuliaannya.
6.      Menunaikan hak suami dan menampakkan pengaruh  atas kehilangannya dalam hal larangan untuk berhias dan mempercantik diri
7.      Menjaga hak suami, mashlahat bagi isteri, hak anak serta menegakkan hak Allah SWT yang telah mewajibkannya.
Pada hakikatnya, maksud dari iddah itu bertujuan untuk mengetahui kebersihan rahim dari kehamilan, yang dapat diketahui dengan kelahiran dan juga dengan sesuatu yang meniadakannya yaitu menstruasi/haidh, karena tidak mungkin wujudnya bersama kehamilan.
Sedangkan hikmah dan filsafat lainnya dengan disyari’atkannya hak nafkah bagi wanita/bekas isteri pada masa iddah adalah sebagai berikut[13] :
1.      Karena pada umumnya isteri tidak bekerja diluar rumah, sebab bukan menjadi kewajibannya. Dan jika sang isteri yang telah diceri suaminya masih dalam masa iddah tidak mendapat nafkah dari suaminya, maka akan dipastikan ia kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya terlebih untuk membiayai anak-anaknya.
2.      Karena pada masa iddah sang isteri tidak diperbolehkan menikah, sebab suami masih memiliki hak rujuk atasnya sampai habis masa iddah. Oleh karena itu tidak mungkin ia dapat menikah lagi pada masa itu untuk mendapatkan hak nafkah dari suami keduanya.
Dengan landasan inilah, maka sudah kewajiban suami untuk memberikannya nafkah hingga sang wanita pun bisa mempersiapkan diri untuk menikah dengan lelaki lainnya. Karena urgensinya kewajiban nafkah kepada mantan isteri selama masa iddah inilah, maka hukum syari’at pun memberikan keringanan bagi seorang suami yang memiliki kesulitan finansial. Namun tidak untuk suami yang mampu.
Hikmah diwajibkannya mantan suami untuk menafkahi anaknya dikarenakan hal ini mengandung hikmah agar jangan sampai perceraian menyebabkan anak-anak terlantar dan ini berarti umat islam telah meninggalkan suatu generasi yang lemah, yang dilarang oleh Islam dan islam sendiri telah memerintahkan pada kita untuk meninggalkan generasi yang kuat sebagai penerus kehidupan. Selain itu, juga terdapat beberapa hikmah lainnya, diantaranya :
1.      Menjadikan si anak terdidik dengan baik
2.      Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, karena orang tua yang pertama kali bertanggung jawab atas perbuatan anaknya
3.      Agar  si anak dapat tumbuh baik, cerdas, serta berbakti pada orang tua
4.      Memberi kesempatan pada anak agar didik oleh kedua orang tua

B.     Hikmah Sosiologis
Disamping hikmah-hikmah normative yang dirasakan dengan ditegakkannya hukum keluarga Islam sebagai hukum keluarga paling baik dalam menyelesaikan setiap permasalahan dalam keluarga. Terdapat pula hikmah-hikmah sosiologis menurut beberapa pakar hukum keluarga Islam yang penulis wawancarai guna melengkapi bahan bacaan para pembaca khususnya..
Menurut pakar hukum keluarga Islam dan juga Ketua dari Pusat Studi Gender di UIN Maliki Malang, Erfaniah Zuhriah, M.H., yang mengungkapkan bahwa hikmah disyari’atkannya hukum dzihar, ila’ dan li’an hadir sebagai rambu-rambu dalam proses sosialisasi, yang tidak hanya diperuntukkan untuk pasangan suami-isteri, tetapi dapat dicerminkan dalam kehidupan sosial masyarakat pada umumnya, dimana agar antara individu satu dengan yang lainnya dapat saling menjaga lisan maupun perilaku, sehingga kehidupan bersosial dapat terjalin tentram, begitu juga dalam hidup berkeluarga. Rambu-rambu sosial yang disyari’atkan oleh Islam ini kemudian dapat dipegang sebagai norma-norma yang tertanam dalam setiap keluarga islam.
Lebih jauh lagi dijelaskan, bahwasannya mengapa kemudian penyamaan isteri terhadap seorang ibu, mempunyai efek negatif yang dapat berpengaruh bagi kehidupan berrumah tangga, contoh kasus yang pernah disidangkan oleh peradilan agama, perceraian yang terjadi karena ketidaksengajaan seorang suami yang setelah pulang kerja, pulang memeluk dari belakang ibu mertuanya dikarenakan sang ibu mengenakan pakaian anaknya, dalam hal ini isterinya tersebut, tanpa diketahui bahwa sang ibu sedang datang berkunjung. Contoh kasus ini kiranya dapat dijadikan cerminan, betapa penyamaan seorang isteri dan seorang ibu dapat berdampak yang negatif.
Perihal zhihar ini kemudian di-amin-kan kembali oleh pemikiran salah satu pakar hukum Islam, yang banyak melakukan penelitian-penelitian sosiologis-antropologis pemberlakuan hukum Islam, yaitu Dr. H. Roibin, M.HI., dimana tindakan zhihar yang berarti tasyabbuh bi-umi, merupakan tindakan yang berefek negatif dikarenakan fitroh dari manusia yang tidak mau disamakan dengan siapapun, dikarenakan dapat melahirkan sifat negatif, pesimistik, penilaian intelektual yang akan berdapmak psikis juga, dimana apabila tasyabbuh tersebut dicerminkan dengan sosok oorang yang lebih baik, maka akan melahirkan sifat sombong dan takabbur, sedangkan apabila dicerminkan kepada sosok yang tidak lebih baik, maka akan menjatuhkan intelektualitas dan kualitas seorang isteri, yang secara fisik maupun pemikiran , dapat dikatakan lebih baik. Sehingga hal-hal seperti ini, dapat kemudian terhindar dengan dari proses sosial, yang kemudian berdampak berbudayanya hal-hal negatif dalam keluarga Islam, yang sekaligus berefek pada penilaian masyarakat terhadap tiap-tiap keluarga muslim.
Sedangkan perihal disyari’atkannnya ilaa’, labih dalam dikaji oleh Dr. H. Roibin, M.HI, bahwa selama masa empat bulan masa penantian itu, terjadi proses membangun penyadaran dalam realitas sosial antara suami dan isteri, dimana seorang suami dihadapkan pada realitas sosial yang kemudian dapat menyadarkan diri, berevaluasi berevaluasi secara lebih mendalam, begitu juga si isteri.
Tidak sampai disitu saja, Dr. H. Roibin, M.HI., menjelaskan perihal li’an, dimana pensyari’atannya secara tidak langsung berhikmah terhadap kehidupan sosiologis yaitu dituntut agar saling membangun kepercayaan dan keyakinan dalam aspek teologis dan sosial, pembaharuan keyakinan apabila ternyata tidak terbukti, dan kemudian revormulasi terhadap konsep cinta yang kemudian semakin terbangun.
Selain itu, secara lebih simple dijelaskan hikmah hukum zhihar dalam Islam oleh salah satu pakar dalam tafsir hukum Islam, Ustadz H. Muh. Thoriquddin, Lc., M.Hi, dimana masalah zhihar ini merupakan masalah etika, artinya sangat kurang ajar sekali katika laki-laki menyamakan intrinya dengan ibunya, intinya semua merupakan tindakan-tindakan preventif agar laki-laki yang dlam islam diberi kewenangan dlam rumah tangga agar tidak seenaknya, karena itu hal yang serius. Ketika suami menyamakan istri dengan ibunya dan dalam kenyataannya ibunya jelek, bodoh maka istri akan terpuruk sekali, karena secara tidak langsung suami tersebut menghina istrinya yang mengakibatkan istrinya menjadi sangat rendah, sebaliknya ketika ibunya pintar, cantik, maka dikhawatirkan istri tersebut menjadi sombong.
Selanjutnya, membahas mengenai hikmah dari disyari’atkannya hak nafkah bagi seorang isteri yang masih dalam masa iddah baik itu merupakan iddah cerai dengan tenggang waktu tiga kali quru’, sedangkan untuk iddah ditinggal mati suami yaitu selama empat bulan sepuluh hari, hal ini oleh pakar hukum Islam, Erfaniah Zuhriah, MH., mengungkapkan bahwa masa yang telah ditentukan ini pada umumnya mencakup didalamnya masa dimana masyarakat dapat memberikan penenilaian sosial yang sewajarnya, dicontohkan, ketika wanita beriddah baik karena talak maupun mati, maka apabila dalam waktu yang singkat, si wanita tersebut sudah melakukan pernikahan kembali dengan orang lain, atau berhias yang berlebihan, maka hal itu akan memberikan penialian dalam masyarakat yang tidak baik, si wanita tersebut akan dikenai sanksi sosial, seperti dicemooh, digunjing. Begitu pula yang terjadi apabila seorang ayah lepas tanggungjawabnya untuk menafkahi anaknya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa syari’at Islam yang mengatur mengenai hal ini pada hakikatnya telah melihat culture-culture yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, sehingga mempunyai hikmah yang tidak saja dapat dirasakan oleh diri wanita itu sendiri, maupun keluarganya, akan tetapi juga dapat dirasakan mashlahah dari hikmahnya tersebut dalam kehidupan bersosial masyarakat pada umumnya. Contoh kasus yang sekarang banyak dikontroversikan yaitu mengenai pernikahan Nazar KDI dengan Muzdhalifah, yang notabene adalah ibu angkatnya, selain itu juga pernikahan tersebut dilakukan pasca empat puluh hari meninggalnya suami dari Muzdhalifah tersebut, alhasil, tidak heran kemudian hal ini menjadi kontroversi sosial dalam masyarakt dikarenakan pasangan tersebut telah melanggar aturan-aturan yang ada, baik dilihat dari sisi kacamata agama, maupun kacamata sosial kehidupan.
Lebih lanjut lagi dikaji oleh narasumber kami, Dr. H. Roibin, M,HI., bahwa kesadaran unutk pemberian nafkah tidak hanya bagi isteri yang beriddah maupun anak dari mantan suami, pada hakikatnya Islam mengajak agar manusia selalu berfikir yang tidak hanya bersumber dari pemikiran yang emosional-subjektif, tetapi harus berpola pikir yang rasioanal-objektif, karena telah ditakdirkan bahwasannya setiap manusia yang hidup didunia ini sudah pasti memiliki tanggung jawab sosialnya masing-masing, sehingga dapat dikatakan bahwa syari’at Islam dalam hal ini, maupun pada umumnya selalu mengajak manusia untuk berfikir secara rasional-objektif. Selain itu, nafkah dalam hubungan keluarga, maupun pasca perceraian tersebut merupakan konsekuensi teologis untuk memciptakan dan melahirkan kemashalahatan, yaitu membengun relasi dan komunikasi terhadap isteri maupun anak, yang merupakan perilaku yang naturalis diciptakan oleh Allah dan akan dimintai pertanggung jawabannya kelak.
Khususnya dalam hal penafkahan mantan suami kepada anaknya, maka lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam Islam sangar dijunjung tinggi untuk menjaga keturunan, guna memperbanyak generasi-generasi muslim, anak dianggap sebagai tunas dari semakin kokohnya nilai-nilai keislaman dalam kehidupan, sehingga pemberian nafkah kepada anak memberikan dampak positif yang panjang bagi pendidikan maupun kualitas hidup anak tersebut, sehingga berhikmah semakin banyaknya generasi muslim yang berkualitas. Bila saja aspek-aspek rasional-objektif ini benar-benar diperhatikan, maka akan sangat bernilai positif kedepannya, bukannya dalam interaksi sosial antar keluarga, maupun interaksi dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Sedangkan dalam syari’at diharamkannya menikahi wanita yang masih dalam mahrom sebagai alasan yang bersifat normatif-teologis, karena pada hakikatnya Allah SWT telah memberikan magnet tersendiri apabila menikah dengan yang bukan mahrom. Perintah menikahi wanita yang bukan mahrom ini akan membawa pada kemajuan dunia pada umumnya, karena terdapat varian yang transformatif, sehingga perilaku sosial tidak stagnan, tetapi selalu berdinamika seiring dengan varian-varian yang ada dari pernikahan antara yang bukan mahrom, sehingga varian transformatif tersebut lahir sebagai insan yang kreatif dan inovatif. Seiring perkembangan zaman.



BAB IV
KESIMPULAN

a.       Zhihar ialah ucapan seorang suami terhadap istrinya dengan menyamakan atau menyerupakan istrinya dengan ibunya dengan tujuan untuk mengharamkan baginya menggauli istrinya untuk selamanya sebagaimana ibunya sendiri. Hikmah normatifnya yaitu memberikan pelajaran kepada suami agar tidak sembarang dalam memberikan penilaian kepada isteri, sekaligus memberikan efek jera terhadap suami dengan pembayaran kafarat yang dilakukan. Zhihar sebagai jalan keluar terhadap penindasan suami terhadap isteri yang banyak terjadi pada zaman jahiliyah. Sedangkan analisa hikmah sosiologisnya yaitu sebagai rambu-rambu interaksi sosial antara suami dan isteri, maupun juga dapat dicerminkan dalam kehidupan sosial sehari-hari, serta menghindari efek negatif yang dapat dirasakan dikarenakan fitroh manusia yang enggan disamakan dengan siapapun.
b.      Ila’ ialah bersumpahnya suami untuk tidak lagi menggauli istrinya dengan mutlak, tanpa batasan waktu, atau ditambah dengan kalimat “untuk selamanya” atau dibatasi waktu yang lebih dari empat bulan. Ila’ ini memberi hikmah normatif yaitu member efek jera kepada suami, masa empat bulan menjadi masa evaluasi bagi suami maupun isteri, serta memastikan rahim dari si isteri. Sedangkan hikmah sosiologis yang dapat dirasakan yaitu sebagai penyadaran terhadap realitas sosial kemudian dapat memberikan efek perubahan, juga sebagai rambu-rambu dalam bersosialisasi.
c.       Li’an ialah beberapa kalimat khusus (laknat) yang dijadikan hujjah terhadap tuduhan zina oleh suami/istri terhadap istri/suaminya dengan tidak adanya saksi empat orang yang mampu didatangkan oleh penuduh untuk mendukung tuduhanya. Hikmahnya yaitu agar pasangan suami-isteri dapat selalu menjaga kepercayaan diantara mereka, sebagai penetralisir atau pembersihan dari tuduhan zina bagi tertuduh dengan keberanianya bersumpah untuk mendapat laknat Allah, serta bisa sebagai media pertimbangan untuk penuduh yang mau menuduh pasanganya dengan zina agar tidak sembarangan menuduh tanpa bukti/saksi yang kuat. Sedangkan hikmah sosiologisnya adalah dituntut agar saling membangun kepercayaan dan keyakinan dalam aspek teologis dan sosial, pembaharuan keyakinan apabila ternyata tidak terbukti, dan kemudian revormulasi terhadap konsep cinta yang kemudian semakin terbangun.
d.      Suami tetap wajib memberikan nafaqah terhadap istrinya yang telah dicerai dan masih berada dalam masa ‘iddah, juga terhadap keluarganya, hal ini karena pada umumnya seorang isteri tidak bertugas mencari nafkah, sedangkan masa iddah memiliki jangka waktu yang panjang dan mereka pun masih tidak dibolehkan untuk menikah sebelum masa itu selesai, sehingga dengan kewajiban pemberian nafkah bagi suami terhadap isterinya yang masih beriddah menurut hukum Islam ini sebagai media agar Isteri tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh syari’at seperti dengan menikah lagi sebelum masa idaahnya berakhir, dengan maksud agar ada yang menafkahinya. Sedangkan hikmah sosiologisnya yaitu dengan disyari’atkannya hukum ini maka secara tidak langsung Islam mengajak untuk umatnya agar selalu berfikir secara rasional-objektif dengan melakukan amanah dan kewajiban yang telah diberikan, sehingga tidak lagi lari dari tanggungjawab dan tidak berfikir yang emosional-subjektif saja. Selain itu masa iddah yang telah disyariatkan juga menjadi suatu bukti bahwasannya Islam ramah dengan budaya sosial kemasyarakatan karena masa iddah yang selama tiga kali quru’ maupun empat bulan sepuluh hari menjadi masa dimana biasanya masyarakat akan memeberikan penialaian sosial perihal etika yang berkembang yang kemudian dilanggar atau dipatuhi oleh wanita beriddah tersebut.
e.       Mahram ialah wanita-wanita yang dilarang untuk dinikahi. Keharaman yang disyariatkannya ini memberikan hikmah untuk memuliakan keluarga yang masih ada nasab, karena bagaimanapun kedudukan mereka sama dengan keluarga nasab setelah adanya pernikahan. Sedangkan hikmah sosiologisnya yaitu pernikahan dengan wanita yang ghoiro-mahrom akan memberikan varian-varian yang transformatif bagi perkembangan dunia pada umumnya, sehingga proses sosial selalu berdinamika bersama varian-varian yang inofatif dan kreatif tersebut, sehingga tidak terjadi stagnansi.
f.       Mantan suami tetap wajib memberikan nafakah kepada anaknya adalah agar anak tersebut tidak terlantar, dan dikhawatirkan istrinya tidak mampu untuk menafkahi, serta agar si anak tetap bisa merasakan kasih sayang dari ayahnya. Dikarenakan seorang anak dalam Islam menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam mempertahankan nilai-nilai keisalaman, sehingga perlu diasuh dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat tumbuh menjadi generasi Islam yang tangguh dan bisa mempertahankan pilar-pilar keislama, hal ini memebrikan nilai yang berbeda pada kehidupan sosial tentunya karena akan memberikan ketentraman yang senantiasa terjalin dikarenakan generasi-generasi muslim yang diasuh dengan baik tersebut akan senantiasa memegang nilai-nilai Islam didalamnya.


DAFTAR PUSTAKA

al-Jarjawi, Syekh Ali Ahmad. Indahnya Syari’at Islam. Jakarta : Gema Insani Press. 2006.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqh Munakahat. Jakarta : Amzah. 2009.
Ghazaly, Abd.Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana. 2006.
Kamal, Abu Malik. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta : Pustaka Azzam. 2007.
Taimiyah, Ibn., Qayyim, Ibn. Hukum Islam dalam Pertimbangan Akal dan Hikmah. Jakarta : Pustaka Azzam.
Tamrin, Dahlan. Filsafat Hukum Islam. Malang: UIN-Malang Press. 2007.
Tihami., Sahrani,Sohari. Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta : Rajawali Press. 2009.


[1] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2006), hal. 228.
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Amzah, 2009), hal. 318
[3] Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), hal. 499
[4] Tihami., Sohari Sahrani, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta : Rajawali Press, 2009), hal. 233-234
[5] Tihami., Sohari Sahrani, Ibid, hal. 173-175
[6] Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Indahnya Syari’at Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2006), hal. 396
[7]Said bin Abdullah bin Thalib al Hamdani, Risalah Nikah(Jakarta: Pustaka Amani, 2002)
[8]Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqh Sunnah untuk Wanita(Jakarta Timur:Al-I’tishom, 2007)hal.605
[9] Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN PRESS, 2007), hal. 183.
[10] Abd. Rahman Ghazaly, Ibid, hal. 234.
[11] Dahlan Tamrin, Ibid, hal. 186
[12] Ibn Taimiyah., Ibn Qayyim, Hukum Islam dalam Pertimbangan Akal dan Hikmah, (Jakarta : Pustaka Azzam), hal. 166
[13] Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang : UIN-Malang Press, 2007),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar